REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai Mahkamah Agung (MA), sebagai garda terakhir menyelesaikan persoalan mantan koruptor menjadi caleg, telah mengabaikan moralitas sekaligus rasionalitas publik. Publik sesungguhnya sudah muak dengan para koruptor, tetapi MA mengabaikan suara hati rakyat banyak ini.
"Bukankah dalam moralitas hukum ada prinsip salus populi suprema lex esto? Suara rakyat banyak adalah hukum tertinggi. MA mengabaikan ini," kata Ubedilah, Sabtu (15/9).
Menurutnya, MA tidak mempertimbangkan bahwa akibat putusanya ada efek berbahaya, yaitu cara pandang publik bahwa korupsi itu tidak apa-apa sebab masih bisa nyaleg DPRD dan DPR RI. "Ini efek paling menyedihkan untuk negeri yang seharusnya memerangi korupsi, tetapi justru membuka pintu terbuka bagi mantan koruptor untuk melenggang ke senayan," ujar dia.
Ubedilah mengatakan, duka juga makin mendalam karena presiden, ketua DPR, dan elite politik lainya juga cenderung diam. Padahal, solusi terbaiknya sangat sederhana, yaitu DPR bersama pemerintah lakukan revisi Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017. Diamnya elite ini menggambarkan betapa kronisnya penyakit moral politik negeri ini.
MA memutuskan bahwa PKPU No 20 tahun 2018 yang melarang mantan koruptor menjadi calon anggota legislatif bertentangan dengan Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016. Dengan putusan itu, caleg mantan koruptor boleh menjadi calon anggota DPD dan DPR RI.
"Sumber persoalanya memang ada di Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang dibuat DPR bersama pemerintah," kata Ubedilah.