Ahad 16 Sep 2018 01:46 WIB

Palestina Ragukan Niat AS Hadirkan Rencana Perdamaian

AS berusaha mengubah secara sepihak kerangka acuan untuk proposal perdamaian.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Israr Itah
Saeb Erekat
Foto: AP
Saeb Erekat

REPUBLIKA.CO.ID, TEPI BARAT -- Kepala negosiator Palestina Saeb Erekat menyatakan keraguannya atas rencana pemerintah Amerika Serikat dalam perdamaian Palestina- Israel. Menurut Erekat, AS tidak akan melaksanakan rencana lama yang ditunggu-tunggu untuk perdamaian Israel-Palestina dalam waktu dekat. Sebaliknya, kata dia, AS berusaha mengubah secara sepihak kerangka acuan untuk proposal perdamaian ke depan.

Ia menggemakan skeptisisme mendalam di antara Palestina, negara-negara Arab dan analis. Erekat mengatakan bahwa pemerintahan Donald Trump berpihak pada Israel pada isu-isu inti konflik yang telah berlangsung puluhan tahun. Ini mengubur semua peluang untuk perdamaian Timur Tengah.

“Saya pikir mereka tidak akan pernah memperkenalkan rencana perdamaian (yang telah diungkapkan sejak lama). Seluruh dunia menolak ide-ide mereka. Mereka sudah melaksanakan rencana mereka dengan mengubah kerangka acuan," kata Erekat dalam wawancara dengan Reuters, Sabtu (15/9).

Keraguan telah meningkat tentang iktikad baik pemerintahan Trump melaksanaan apa yang disebut pihak AS sebagai 'kesepakatan akhir' sejak Desember lalu. Sebab Trump kemudian mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan kemudian memindahkan Kedutaan Besar AS di sana.

Yerusalem adalah salah satu masalah utama dalam konflik Israel-Palestina. Kedua pihak mengklaimnya sebagai ibu kota. Langkah Trump membuat marah orang-orang Palestina, yang sejak itu memboikot upaya perdamaian Washington, yang dipimpin oleh menantu presiden AS, Jared Kushner.

AS juga telah menghentikan bantuan ke Palestina dan ke UNRWA - badan PBB untuk para pengungsi Palestina. Ia telah memerintahkan kantor Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Washington agar ditutup, yang semakin membuat marah para pemimpin Palestina.

Palestina ingin mendirikan negara di Tepi Barat dan Jalur Gaza dan Yerusalem Timur. Israel merebut wilayah-wilayah itu dalam perang Timur Tengah 1967 dan mencaplok Jerusalem Timur dalam sebuah langkah yang tidak diakui secara internasional. Israel menganggap semua kota milik mereka selamanya dan ibu kota yang tak terpisahkan.

Para pejabat AS sejauh ini tidak berkomentar mengenai apakah rencana mereka akan mendukung pembentukan negara Palestina di samping negara Israel. Ini merupakan tujuan negosiasi sebelumnya, yang terakhir gagal pada 2014.

"Mereka mengatakan kepada kita 'damai berdasarkan kebenaran'," kata Erekat.

"Kebenaran Kushner dan kebenaran Netanyahu adalah bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel, tidak ada hak untuk kembali ke pengungsi, pemukiman adalah legal, tidak ada negara Palestina pada 1967 (perbatasan) dan Gaza harus dipisahkan dari Tepi Barat dan ini benar-benar tidak dapat diterima," Kata Erekat.

 

Palestina memiliki pemerintahan sendiri yang terbatas di Tepi Barat, tetapi Israel menguasai sebagian besar wilayah itu dan telah memperluas permukiman di sana. Sebagian besar negara menganggap pemukiman itu ilegal, meskipun Israel membantahnya. Ia menarik pasukan dan pemukimnya dari Gaza, yang diperintah oleh gerakan Hamas.

 

"Satu-satunya hal yang dilakukan pemerintahan ini sejak datang ke kantor adalah hanya untuk membawa orang Israel dan Palestina keluar dari jalan menuju perdamaian, dari jalan solusi dua negara," kata Erekat. (Idealisa Masyrafina/ Reuters)

sumber : REUTERS
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement