Ahad 16 Sep 2018 14:11 WIB

Sinema Biografi Topang Industri Ekonomi Kreatif

Salah satu kendala pembuatan film kolosal di Tanah Air adalah pendanaan.

Red: Yudha Manggala P Putra
Sang Pencerah
Sang Pencerah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak sedikit film biografi hasil sineas di Tanah Air. Salah satu yang fenomenal antara lain Tjoet Nya' Dhien. Film yang disutradarai Eros Djarot ini meraih Piala Citra sebagai film terbaik dalam Festival Film Indonesia pada 1998.

Lalu sebelumnya, Sjumandjaja menyutradarai film R.A. Kartini pada 1982. Di FFI 1983, film ini menyabet tiga penghargaan Piala Citra untuk kategori Tata Sinematografi Terbaik (Soetomo Gandasoebrata), Pemeran Pendukung Wanita Terbaik (Nani Widjaja), dan Cerita Asli Terbaik (Soedharnoto).

Setelah era Reformasi muncul Gie, yang berkisah tentang aktivis Soe Hok Gie, yang digarap sutradara Riri Riza pada 2005. Lalu pada 2010, Hanung Brahmantyo menyutradarai Sang Pencerah, kisah drama biografi pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.

Film Soegija, yang berkisah tentang kisah kemanusiaan dari tokoh pribumi yang diangkat menjadi uskup pribumi dalam Gereja Katolik Indonesia, muncul pada 2012.

Film-film tentang tokoh historis seperti itu memang perlu diperbanyak. Kenapa?

Karena dari sanalah pemirsa dapat menyelami nilai-nilai kehidupan sang tokoh meskipun tanpa pernah membaca buku-buku pelajaran sejarah di sekolah yang sebagian masih menilainya kurang reflektif dan membosankan.

Bagi mereka yang pernah membaca buku-buku teks sejarah, menyimak filmnya juga kian memperdalam impresi tentang sang tokoh, yang tentunya memiliki sikap dan prinsip hidup yang layak diteladani.

Di era sebelum Reformasi, sejumlah film yang mengangkat kiprah tokoh historis dibikin. Meski tidak fokus ke satu tokoh tertentu, film Pengkhianatan G30S/PKI salah satu yang digolongkan ke film yang mengungkapkan kisah ketokohan beberapa figur sejarah. Sayangnya, film itu sarat kepentingan politik sehingga menjadi tampak sebagai sarana propaganda politik.

Kini ada kesempatan untuk merevisinya dengan membuat film tentang salah satu tokoh yang terlibat dalam film yang pembuatannya dibiayai oleh negara dan disutradarai Arifin C. Noer itu. Film ini melibatkan Bung Karno, yang diperankan Umar Khayam.

Pada 2013, Hanung Brahmantyo menyutradari film berjudul Soekarno: Indonesia Merdeka. Namun, di film ini, Soekarno ditampilkan lebih sebagai perintis kemerdekaan sehingga tak bersentuhan dengan momen-momen menjelang kejatuhannya, yang menjadi salah satu momen krusial dalam Pengkhianatan G30S/PKI.

Ada tokoh penting yang layak difilmkan. Dia adalah sastrawan terbesar Indonesia yang beberapa kali dinobatkan secagai calon peraih Nobel. Namanya, tak asing lagi buat publik pecinta roman: Pramoedya Ananta Toer.

Kisah hidupnya tak kalah dramatis dan kontemplatif dibandingkan dengan karya-karyanya. Pram yang tutup usia pada 2006 adalah manusia istimewa, yang berkiprah sejak era kolonialisme hingga reformasi.

Jatuh bangun kehidupan pribadi Pramoedya akan menarik jika difilmkan. Bahan untuk memperkaya sumber informasi juga cukup melimpah, baik sumber-sumber jurnalistik di koran-koran yang terbit di era 1960-an, yang tersimpan di sejumlah perpustakaan beberapa universitas di luar negeri, maupun sumber otobiografis yang tersaji pada buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.

Di tangan sineas yang tangguh, kisah sinematografis tentang Pramoedya ini bisa diharapkan mencapai kesuksesan film R.A. Kartini, meski tak mungkin sekelas Gandhi dengan sutradara Richard Attenborough yang meraih 8 Piala Oscar.

Salah satu perkara utama dalam pembuatan film kolosal di Tanah Air adalah pendanaan. Berbeda dengan melahirkan karya musik, lukis, sastra yang tak membutuhkan dana begitu besar, memproduksi film adalah pertaruhan besar yang murni bisnis. Tantangan inilah yang kini sedang dicoba atasi oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dengan menjalin kerja sama dengan Badan Perfilman Indonesia (BPI).

Kedua institusi itu telah menggelar forum pembiayaan perfilman di Tanah Air dalam wadah yang bertajuk Akatara. Tujuannya adalah memberikan informasi dan edukasi kepada kalangan investor tentang seluk-beluk, tali temali dalam menginvestasikan dana ke industri perfilman.

Menurut Deputi Akses Permodalan Bekraf, Fadjar Hutomo, investor perlu dipasok informasi tentang peluang emas dalam menanamkan modal di industri film sebab banyak investor yang belum paham berinvestasi di dunia perfilman.

Cara lain untuk mendapatkan dana pembiayaan produksi film adalah lewat pencarian dana sumbangan sukarela publik. Beberapa sutradara dan produser film telah mencoba strategi ini namun belum memperlihatkan hasil yang fenomenal.

Fakta bahwa semakin banyak film-film yang berhasil menangguk untung dengan ditonton oleh jutaan pemirsa film dalam beberapa tahun belakangan ini membuktikan semakin lukratifnya menginvestasikan dana ke proyek perfilman.

Nama besar sutradara yang berhasil memproduksi film terlaris bisa menjadi panduan bagi investor untuk mengguyurkan dananya di produksi film masa depan.

Film adalah sarana penanaman nilai-nilai etis yang dikemas dengan kiat menghibur minus menggurui. Itu yang dipegang teguh sampai saat ini oleh pembuat film di Hollywood. Bahkan film-film animasi yang paling absurd pun tak hampa dari keniscayaan untuk menginjeksikan nilai-nilai moral sebagai pesan terselubung pembuatan film Hollywood. Ini memang kemauan penonton.

Itu sebabnya makin suburnya produksi film nasional akan dengan sendirinya menggegapgempitakan nilai-nilai kemanusiaan yang memang harus dilanggengkan. Jika tema film itu menyangkut tokoh besar yang berjuang di dunia sastra, publik penonton pun secara tidak langsung tergiring untuk menikmati karya-karya sang tokoh.

Tampaknya untuk mewujudkan impian memperbanyak produksi film-film tentang tokoh juga perlu dukungan dari pihak keluarga sang tokoh yang hendak difilmkan. Ada yang mematok harga pembelian hak cipta pemfilmannya. Ada pula yang menggratiskannya. Di sinilah kompromi perlu diikhtiarkan.

Konon, untuk memfilmkan salah satu kisah yang didasarkan novel Pramoedya, produser perlu membeli hak cipta pemifilmannya. Apalagi untuk memfilman sang tokoh. Itulah hukum dagang yang berlaku saat ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement