Ahad 16 Sep 2018 18:15 WIB

Memaknai Peristiwa Agung Muharram

Hijrah tidak hanya berkaitan dengan peristiwa historis tertentu

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Hijrah
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Hijrah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kaum yang berhijrah (Muhajirin) sungguh-sungguh telah melakukan suatu perjuangan besar. Mereka rela meninggalkan tanah kelahiran, keluarga, harta benda, dan segala kepentingan duniawi lainnya.

Perjuangannya adalah membangun ekosistem baru yang lebih kondusif bagi perkembangan Islam. Allah menjanjikan kebaikan yang besar kepada mereka.

Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar kalau mereka mengetahui (terjemah an surah an-Nahl ayat 41).

Dalam pengertian yang lebih luas, hijrah tidak hanya berkaitan dengan peristiwa historis tertentu, tetapi juga semangat memperbaiki diri. Rasulullah SAW bersabda, se- bagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Tidak ada lagi hijrah sesudah pembukaan Kota Makkah, tetapi yang ada jihad dan niat tulus.

Oleh karena itu, peringatan 1 Muharram tahun baru Hijriyah seyogianya menjadi momentum perubahan agar diri dan masyarakat Muslim menjadi lebih baik.

Bentuk perayaan 1 Muharram bisa macam-macam, sesuai dengan rona budaya setempat. Hanya titik tolaknya tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam. Jangan sampai momentum tahun baru Hijriyah diwarnai perbuatan-perbuatan yang condong pada kemusyrikan atau takhayul.

Di antara bulan-bulan lainnya, Muharram memiliki keutamaan. Ini- lah bulan yang berjulukan syahrullah atau `bulan Allah'. Pada bulan Muharram pula, Allah SWT menye- lamatkan kaum Nabi Musa AS dari kejaran Firaun.

Sejak zaman Rasulullah SAW, Islam memelihara tradisi yang meng golongkan Muharram sebagai salah satu dari empat bulan haram.Pada bulan ini, dilarang adanya kon- tak senjata.

Ketentuan itu berlaku kecuali bila kaum Muslimin diserang ter- lebih dahulu. Mereka boleh membalasnya tanpa berlebihan, sekalipun pada bulan haram dan/atau di Masjid al-Haram, sebagaimana diisyaratkan Alquran surah al-Baqarah ayat 191-194.

Banyak ibadah sunat yang mengambil waktu pada bulan Muharram. Misalnya, puasa sunah pada 9 dan 10 Muharram atau `Asyura. Ritual ini sesungguhnya sudah ada sejak zaman jahiliyah. Rasulullah SAW rutin melakukan shiam tersebut, sebagaimana ibadah wajib.

Sesudah ketentuan puasa Ramadhan turun, status puasa `Asyura menjadi sunnah yang sangat dianjurkan. Rasulullah SAW bersabda, Sebaik-baik puasa setelah Ramad- han adalah pada bulan Allah, yaitu Muharram (HR Abu Dawud dan Tirmidzi). Di tempat lain, beliau bersabda tentang keutamaan ibadah ini, Puasa `Asyura itu dapat menghapus (dosa-dosa) satu tahun yang lalu (HR Muslim).

Momentum hari Asyura juga di istilahkan sebagai Lebaran Anak Yatim. Pada hari itulah masyarakat semakin giat menderma. Tradisi semacam ini dapat dijumpai pada kultur masyarakat Betawi.

Beberapa keluarga, terutama da pri kalangan berada, memanfaatkan hari tersebut untuk menyelenggarakan makan bersama anak-anak panti asuhan. Acara ditutup dengan membagi-bagikan uang kepada anak-anak yatim, piatu, dan dhuafa.

Secara tertib, satu per satu mereka menyalami tuan rumah dan menerima hadiah dengan suka cita. Tuan rumah mengusap kepala masing-masing anak sembari berdoa mengharapkan keberkahan rezeki dan ridha dari Allah SWT. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement