REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Indonesia harus dapat memaknai hijrah dalam pengertian yang sesungguhnya, yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membangun Indonesia yang damai, rukun antara yang satu dengan yang lain, saling mengenal, memahami, tolong-menolong dan saling bantu membantu. Hal ini agar tidak ada lagi sebagian dari masyarakat bangsa Indonesia ini yang merasa disakiti. Semuanya harus diselesaikan untuk menuju cita-cita Indonesia, negara berdasarkan Pancasila yang rakyatnya makmur dan penyelenggraan negaranya itu dilakukan secara adil.
“Itulah yang digagas, dipikirkan, diperjuangkan dan dibela mati-matian oleh seluruh rakyat Indonesia dengan konsep hijrah, jihad dan niat sejak jaman sebelum kemerdekaan hingga pascakemerdekaan hingga saat ini. Ini tentunya untuk membangun sebuah jalan perdamaian yang merupakan jalan terbaik untuk menuju cita-cita bangsa,” ujar Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi DKI , Prof Dr Ahmad Syafii Mufid di Jakarta, akhir pekan lalu.
Lebih lanjut Syafei Mufid menceritakan, di dalam Islam sendiri, peristiwa hijrah merupakan salah satu momen paling bersejarah yang pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW saat hijrah dari Mekkah menuju ke Madinah. Hijrah Rasulullah itu dimaknai sebagai pindah tempat yang tidak nyaman atau kondusif untuk berdakwah lalu pindah ke tempat yang dapat menyambut dakwah. Dan ini sebuah peristiwa sejarah yang sangat luar biasa jika dilihat dari sisi perpindahan, dari satu kota ke kota yang lain.
“Apa yang dilakukan Rasulullah itu adalah upaya untuk melepaskan tekanan-tekanan dari kaum jahiliyah itu tidak dilakukan secara frontal seperti dengan peperangan atau konflik meski Rasulullah mendapatkan ancaman pembunuhan. Dalam peristiwa hijrah ini Rasulullah mampu menghindari dari perbuatan yang menjurus kepada aksi kekerasan,” ujar Ketua Komisi Litbang Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini
Saat itu Nabi pun menurutnya telah menyiasati itu dengan tidak melakukan perlawanan dan tidak memohon kepada Allah agar supaya orang-orang yang mau mencelakainya itu dimusnahkan oleh Allah, bahkan melalui kekuatan gaib juga tidak dilakukan oleh Nabi saat menuju Madinah. Saat tiba di Madinah, Rasulullah kemudian membangun masjid, lalu membangun pasar, supaya ekonomi di Madinah bisa berjalan dengan baik.
“Ada dua hal yang dilakukan Nabi setelah membangun itu, yakni membangun suku-suku yang ada dan tinggal di Madinah itu disatukan melalui misa Al Madinah, melalui perjanjian Madinah atau piagam Madinah yang sangat terkenal itu. Jadi tujuan Rasulullah membangun mesjid itu untuk membangun persaudaraan dengan menyatukan antara kelompok yang berpindah, yang migrasi itu dengan kelompok yang ada di Madinah. Jadi yang dibangun Rasulullah SAW adalah persaudaraan,” ujar mantan Inspektur bidang Pembangunan Kementerian Agama RI ini.
Dari sini Nabi Muhammad berhasil membangun sebuah komunitas baru yang disebut masyarakat Madinah, masyarakat yang berkeadaban. Setelah itu lalu Rasulullah tahun ke-8 setelah hijrah ke Madinah ini balik ke Mekkah dan. terjadilah peristiwa yang disebut dengan Fathul Mekkah, terbukanya Kota Mekah, tanpa pertumpahan darah.
“Ini sebuah contoh betapa manusia yang diusir, yang diancam akan dibunuh itu bisa datang kembali dengan penuh kasih sayang, penuh toleransi dan kemanusiaan yang tinggi. Dan mengakhibahwri puisi kenabian atau Haji Wada.yang sejatimya bisa disebut dasar dari Declaration of Human Rights, yang mana beliau mengatakan ‘pada hari ini diharamkan untuk kamu, darah kamu, harta kamu dan seterusnya. Perempuan-perempuan harus dimuliakan, tidak ada balas dendam lagi, tidak ada riba, tidak boleh berzina, itu semua disampaikan oleh Rasullulah dalam pidato Wada-nya,” ujarnya.