REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jalanan di Kota Madinah penuh dengan sisa khamar yang menggenang. Baru saja wahyu turun kepada Nabi Muhammad SAW. Tak ada lagi pemakluman, yang ada adalah pengharaman.
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS al-Maidah [5]: 90).
Begitu ayat ini turun, gelas-gelas yang masih berisi khamar lantas ditumpahkan. Dibuang tanpa sisa. Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur'an menggambarkan tak hanya khamar di gelas yang disingkirkan.
Para sahabat menuju tempat penyimpanan khamar mereka dalam gentong-gentong. Seketika dihancurkan dan tergenanglah jalanan Madinah hari itu dengan zat yang diharamkan itu.
Tidak mudah menjalankan perintah Allah dengan spontanitas yang luar biasa. Terlebih, minum khamar bagi suku Arab adalah kebiasaan lama yang sudah mendarah daging. Namun, ekspresi kecintaan para sahabat terhadap Allah melalui ketaatan tanpa syarat melebihi apa pun. Minuman yang setia menemani mereka dimusnahkan, tak bersisa.
Membicarakan hukum minuman keras, termasuk tata kelola peredarannya pada era modern bisa jadi pembahasan tersendiri. Namun, kita patut mencermati bagaimana respons para sahabat terhadap sebuah perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.
Mereka melakukannya dalam ketaatan tanpa syarat. Semua itu hanya bisa digerakkan dalam iman yang lebih mendarah daging dibanding kebiasaan lama mereka. Bukan iman yang berpura-pura. Lihatlah para sahabiyah yang mencari kain apa saja yang mereka dapat kala perintah hijab turun, lihatlah Abu Bakar yang langsung menyedekahkan semua hartanya untuk jihad tanpa pikir panjang.
Menjadi yang pertama dalam menaati perintah Allah adalah kebanggaan yang dicari para sahabat. Bagi mereka, tidak ada kata menunda ketaatan. Rahasia umur juga menjadi pemicunya. Kita tidak pernah tahu pada detik berapa napas kita akan terhenti. Pemahaman ini diresapi betul oleh para sahabat.
Setiap perintah, berat atau ringankah itu, selalu mereka kerjakan. Sebagai manusia, rasa payah dan letih wajar mendera. Allah juga menggambarkan ada perintah yang bisa dikerjakan saat lapang. Ada pula perintah yang mesti dikerjakan saat sulit. Namun, apa pun keadaannya, tidak ada pilihan selain mengerjakan sebaik-baiknya.
"Berangkatlah kamu baik dalam keadaan ringan ataupun berat dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS at-Taubah [9]: 41).
Mereka berangkat, tak mengeluh meski Allah tahu ada yang dalam keadaan sedang kesulitan. Namun, tak ada keraguan dalam diri mereka. Dengarlah jawaban mereka saat mendengar perintah Allah, "... dan mereka mengatakan, 'Kami dengar dan kami taat'…" (QS al-Baqarah [2]: 286).
Dan lihatlah balasan bagi mereka yang senantiasa beriman dan mengerjakan amal saleh. "… Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.." (QS al-Bayyinah [98]: 8).
Balasan apa lagi yang hendak dicari manusia selain ridha dari Allah SWT. Surga tak akan kita raih jika Allah tak memberi ridha. Mendapat keridhaan Allah adalah puncak tertinggi pengabdian. Salah satu tonggak pengabdian itu dimulai kesiapan untuk mengatakan, saya siap dan saya taat!
Risalah hari ini sudah turun dalam bentuk sempurna. Semua arahan dalam menjalani hidup sudah tergariskan. Kehidupan yang serbapraktis lantas membuat laku kita makin pragmatis. Alih-alih siap menaati perintah Allah, justru perintah lain yang memberikan keuntungan sesegera mungkin lebih kita dahulukan.
Balasan berupa ridha, pahala, surga seolah tak tergambar, tak terasa. Timpalan berupa segepok uang lebih nyata dan tampak berharga. Ketaatan kita kemudian bukan hanya bergeser, melainkan juga bersyarat. Kita lantas memastikan apa yang akan kita dapati kemudian jika saya mengerjakan hal ini dan itu.
Ketaatan tanpa syarat dalam bingkai perintah Allah SWT kini menjelma menjadi barang langka. Langka bukan berarti tidak ada. Akan selalu ada orang-orang dalam diam mereka terus melangkah dari satu perintah Allah ke perintah Allah yang lain.
Bagi orang-orang ini, tak ada yang bisa menggaransi hidup selain hanya Allah SWT semata. Sikap ketaatan tanpa syarat ini lantas menumbuhkan kekuatan dahsyat.
Kekuatan itu lantas terakumulasi serentak dan seiring. Lantas menyapu seluruh yang dilewatinya dengan kekuatan yang menakjubkan. Kiranya ini rahasia mengapa kaum yang tak bisa membaca lagi menulis di tengah gurun bisa mewarnai dunia hingga hari ini.