Selasa 18 Sep 2018 08:14 WIB

Indonesia Jamin Hak Petani Manfaatkan Sumberdaya Genetik

Negara diminta menjaga kearifan lokal yang sejalan dengan pelestarian SDG

Red: EH Ismail
First Meeting of the Ad Hoc Technical Experts Group on Farmers’ Rights  di Roma, Itali, 11 hingga 14 September 2018
First Meeting of the Ad Hoc Technical Experts Group on Farmers’ Rights di Roma, Itali, 11 hingga 14 September 2018

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia menjamin hak petani dalam pemanfaatan hasil pengembangan sumberdaya genetik tanaman (SDG). Hal itu diungkapkan Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian, Kementerian Pertanian (Kementan), Erizal Jamal yang mewakili kawasan Asia Pasifik di First Meeting of the Ad Hoc Technical Experts Group on Farmers’ Rights  di Roma, Itali yang berlangsug pada 11 hingga 14 September 2018.

Acara ini diselenggarakan International Treaty  On Plant Genetic Resources For Food And Agriculture (ITPGRFA)  bersama Food Agriculture Organization of the United Nations (FAO) guna mempercepat pelaksanaan berbagai kesepakatan internasional tentang tentang Sumberdaya Genetik  Tanaman (SDG), terutama terkait dengan hak petani atau farmers’ rights.

Erizal menjelaskan kesepakatan Internasional tentang SDG untuk pangan dan pertanian, yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor  4  Tahun  2006 Tentang Pengesahan International Treaty On Plant Genetic Resources For Food And Agriculture (ITPGRFA) atau Perjanjian Mengenai SDG Untuk Pangan Dan Pertanian, mengamanatkan kepada negara untuk merealisasikan hak petani (farmers’ rights) dalam mengkonservasi SDG. Selain itu, guna mengembangkannya agar kemandirian pangan tercapai sehingga kesejahteraan petani terwujud.

“Pada artikel ke 9 kesepakatan, di antaranya menyebutkan negara diminta untuk  menjaga kearifan lokal yang sejalan dengan upaya pelestarian SDG. Negara juga diharapkan menjamin hak petani dalam pemanfaatan hasil pengembangan SDG, dalam bentuk pembagian keuntungan dari hasil pengembangannya, serta hak petani untuk menyimpan, menggunakan serta  berbagi dengan sesama petani hasil pengembangannya berupa benih,” ujar Erizal di Jakarta, Senin (17/9).

Menurutnya, untuk merealisasikan kesepakatan ini Indonesia telah melakukan beberapa hal antara lain dengan di keluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU-X/2012, yang mengamandemen  Undang-Undang No 12 tahun 1992,  tentang Sistem Budidaya Tanaman. Melalui amandemen ini negara memberikan hak kepada perorangan petani kecil untuk dapat melakukan pencarian dan pengumpulan SDG, tanpa harus izin pemerintah serta mengedarkan varietas hasil pemuliaan petani dalam lingkungan terbatas tanpa proses pelepasan oleh Pemerintah.

“Karena itu, kegiatan First Meeting of the Ad Hoc Technical Experts Group on Farmers’ Rights  ditekankan lebih mempercepat pelaksanaan berbagai kesepakatan internasional ini, terutama yang terkait dengan hak petani atau farmers’ rights, ITPGRFA. Intinya, untuk mewujudkan kemandirian pangan dan hak petani,” jelasnya.

Lebih lanjut Erizal menjelaskan, pertemuan yang berlangsung selama 4 hari ini merumuskan rekomendasi tentang berbagai upaya untuk merealisasikan hak petani sebagaimana yang diamanatkan Treaty pada artikel 9. Perdebatan yang panjang terjadi karena upaya ini dalam banyak hal tidak sejalan dengan kepentingan industri perbenihan, terutama industri benih dari negara yang tergabung dalam International Union for the Protection of New Varieties of Plant (UPOV).

“Upaya harmonisasi kepentingan petani dan industri benih merupakan  salah satu inti rumusan pertemuan. Indonesia mendukung penuh upaya ini, karena dalam prakteknya Indonesia sudah  memberikan perhatian yang seimbang kepada hak petani dan industri benih, dalam hal ini berupa hak pemulia atau Breeder RightI,” ungkapnya.

Perlindungan Varietas Tanaman atau Hak PVT memberikan perlindungan kepada hasil pemuliaan yang dilakukan pemulia dan industri benih. Sementara itu negara juga mengakui hak-hak petani secara komunal dalam pelestarian SDG melalui pendaftaran varietas lokal.

 

“Bagi petani yang mengembangkan  kegiatan pemuliaan, Pusat PVTPP bersama Balitbangtan, melakukan pendampingan agar varietas yang dihasilkan petani dapat dilepas sejalan dengan aturan yang berlaku serta dapat diberikan Hak Perlindungan Varietas,” tegas Erizal.

Perlu diketahui, hasil kesepakatan awal dari pertemuan ini  terdiri dari beberapa butir usulan. Draft kesepakatan ini  akan terus  didiskusikan melalui forum ini dan on-line discussion.  Pada akhirnya nanti hasil kesepakatan ini akan disampaikan kepada seluruh negara anggota untuk disepakati dalam pertemuan Governing Body dari ITPGRFA,  yang akan dilakukan pada tahun 2019 di FAO-Roma.

Acara itu dihadiri 39 peserta yang mewakili tujuh kawasan di dunia, serta perwakilan petani dan masyarakat sipil serta perwakilan organisasi seperti International Union for the Protection of New Varieties of Plant (UPOV) dan International Seed Federation (ISF). Selain itu hadir juga 36 peserta lainnya sebagai pengamat atau observer dari berbagai kalangan, termasuk perwakilan Serikat Petani Indonesia (SPI).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement