REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tiangfang Jiao, demikian bangsa Cina menyebut Islam yang mereka kenal sejak abad ke-8 M dengan istilah agama orang Arab. Ketika masuk ke daratan Cina, Islam mampu memberikan pengaruh yang signifikan.
Bukan hanya soal konsep teologi, melainkan juga akulturasi budaya. Budaya Islam bisa berselaras dengan tradisi lokal masyarakat Cina. Salah satunya, tampak dari tradisi pernikahan.
Itulah mengapa, bagi komunitas Islam di Cina perayaan pernikahan berarti memadukan tradisi kedua entitas budaya tersebut. Bagi masyarakat cina non-Muslim, sejumlah tradisi lokal kerap dilakukan dalam pelaksanaan pernikahan, antara lain, mempelai perempuan yang identik dengan gaun merah. Warna ini, konon menurut kepercayaan kuno mereka, bermakna keberuntungan.
Ada pula tradisi “red lai”, yaitu paket uang dengan maksud untuk meningkatkan taraf kekayaan pasangan tersebut. Keyakinan Cina kuno juga mewajibkan penulisan karakter di atas kertas merah dan dibakar dengan petasan sebagai upaya mengusir roh jahat. Prosesi pembacaaan ramalan bintang juga tak boleh dilewati. Hal ini bertujuan agar keduanya memiliki arah jelas dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Semua mitologi kuno tersebut ditanggalkan dalam tradisi pernikahan Islami di Cina. Adapun yang dipertahankan hanya gaun pengantin berwarna merah. Pernikahan berlangsung di masjid. Tak sedikit masjid yang menyelenggarakan praktik-praktik keagamaan, seperti menyediakan jasa pernikahan.
Dalam pernikahan tersebut, sang imam membacakan khotbah pernikahan, lalu menyatakan sah sebagai pasangan suami istri. Dalam kesempatan itu sang suami harus memberikan pakaian dan perhiasan sebagai sebuah hadiah.
Sebagian komunitas Muslim di Cina memiliki tradisi tersendiri. Bagi Muslim minoritas, seperti etnis Hui yang berketurunan Arab dan Persia, pernikahan sangat eksklusif. Menurut mereka, menikah dengan luar kelompok ras Hui sangat tidak dianjurkan. Tetapi, jika seorang Hui ingin menikahi seorang non-Hui, seseorang tersebut harus menghormati budaya, bahkan menerima Islam dalam hidupnya.
Komunitas Uyghur di Xinjiang yang bergaris keturunan Turki, memiliki tradisi khas lainnya. Kedua mempelai saling berbagi roti asin sebagai lambang cinta dan kesetiaan pada awal pernikahan. Yang pertama mengambil roti, akan dianggap lebih loyal.
Menurut tradisi, saat upacara pernikahan, kue beras merupakan hadiah yang wajib diberikan. Setelah upacara pernikahan selesai, biasanya pihak keluarga menyembelih sapi. Daging olahan tersebut akan dijadikan sebagai hidangan bagi para tamu dan hadiah bagi dhuafa.
Terlepas dari itu semua, ada kesamaan yang ditunjukkan dalam perayaan pesta pernikahan Muslim Cina. Perbedaan kecil hanya tampak dari selera makanan. Muslim Cina di Utara lebih menyukai makanan dari olahan daging pedas. Sedangkan, orang Cina Selatan lebih menyukai kudapan permen. Budaya menyatukan Muslim di Cina.