REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) mencatat, kasus pernikahan anak dibawah umur di Indonesia masih tinggi. Terdapat 20 provinsi dengan prevalensi perkawinan usia anak yang lebih tinggi dibanding angka nasional, yakni 22,82 persen.
Mengutip laporan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada Januari 2017, INFID mencatat, lima provinsi dengan angka prevelensi terbesar. Kelimanya, yakni Sulawesi Barat (34,22 persen), Kalimantan Selatan (33,68 persen), Kalimantan Tengah (33,56 persen), Kalimantan Barat (33,21 persen), dan Sulawesi Tengah (31,91 persen).
“Perkawinan usia anak ini tak hanya terjadi di daerah tertentu saja. Praktiknya terjadi di seluruh provinsi di Indonesia,” Dewan Pengawas International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Zumrotin K Susilo melalui keterangan pers kepada Republika.co.id, Rabu (19/9).
Kasus terbaru di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, Agustus lalu, seorang anak lelaki yang baru lulus Sekolah Dasar (SD) mempersunting remaja perempuan berusia 17 tahun. Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Provinsi Sulsel mencatat 720 kasus pernikahan anak pada Januari-Agustus 2018.
Pernikahan anak, Zumrotin mengatakan, berdampak pada kemiskinan, kematian ibu juga kualitas bayi yang dilahirkan. "Anak yang menikah dini juga akan putus sekolah sehingga wajib belajar 12 tahun tak terpenuhi," kata dia.
Pernikahan anak tidak hanya merampas hak anak. Ia menyatakan pernikahan anak juga mendorong terjadinya kekerasan seksual, dan kekerasan rumah tangga.
Ia pun mendorong agar penghapusan pernikahan anak harus menjadi komitmen berbagai kementerian antara lain Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, dan Kementerian Agama. "Selama ini pernikahan anak hanya dianggap urusan Kementerian Agama," ujarnya.
Pencegahan pernikahan anak ini menjadi faktor penting dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Program ini untuk membangun bangsa yang sejahtera, berkualitas, dan bebas diskriminasi gender.
“Penghapusan pernikahan anak merupakan salah satu indikator SDGs seharusnya tidak sulit dicapai,” kata Zumrotin.
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan dengan memastikan bahwa anak-anak perempuan dapat mengejar pendidikan tinggi dan keterampilan kejuruan. Selain itu, pencegahan dapat dilakukan dengan menyiapkan peluang masa depan untuk memperoleh penghasilan.
Program Manager INFID Siti Khoirun Ni’mah menambahkan, pelaksanaan SDGs sudah memasuki tahun ketiga. Masalah perkawinan anak semestinya bisa dipecahkan melalui pelaksanaan dan pencapaian SDGs.
Untuk itu, penting adanya peta jalan pencapaian SDGs yang disusun dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. "Sehingga, hambatan-hambatan yang terjadi terkait dengan perkawinan anak dapat dipecahkan bersama-sama," ujar Ni'mah.