REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Kiki Verico menuturkan, perang tarif yang terjadi antara Amerika dengan Cina akan berdampak luas terhadap perdagangan global. Sebab, keduanya menguasai sekitar 40 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dari keseluruhan perdagangan internasional.
Di tengah perang tarif, Kiki menganjurkan pemerintah dan para pengusaha dapat mengambil peluang. Menurutnya, saat ini adalah waktu yang bisa dimanfaatkan untuk tingkatkan ekspor produk yang mengalami hambatan masuk ke dua negara.
"Tidak ada negara yang bisa berdiri sendiri, mereka butuh jaringan," tuturnya dalam acara workshop di Gedung Kementerian Perdagangan (Kemendag), Jakarta, Selasa (18/9).
Anjuran ini semakin mendesak dengan kondisi neraca perdagangan komoditas nonmigas Indonesia yang terbilang mencemaskan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang baru dirilis, neraca dagang nonmigas Januari hingga Agustus 2018 surplus hanya sebesar 4,26 miliar dolar AS. Total itu jauh lebih rendah dibanding surplus neraca dagang nonmigas pada periode sama tahun lalu, yakni 14,46 miliar dolar AS.
Tapi, mengambil peluang ekspor ke Amerika dan Cina memang tidak mudah. Menurut Kiki, Indonesia harus bisa bersaing dengan Vietnam dalam ekspor ke Amerika Serikat, termasuk untuk produk pakaian jadi.
Vietnam berada di posisi kedua sebagai negara pemasok terbesar ke Amerika, setelah Cina. Sementara itu, untuk ekspor ke Cina, dibutuhkan material dan bahan baku.
"Jadi, kita masih ada ketergantungan dari faktor produksi dan harga patokan dunia untuk ekspor ke sana," ujar Kiki.
Dalam mengantisipasi tantangan yang ada, Kiki menyarankan pemerintah dan para pelaku usaha untuk menggenjot industri manufaktur berorientasi ekspor. Penggunaan materialnya pun harus bahan baku lokal.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan Muhri menilai, perang tarif antara Amerika dan Cina akan menyebabkan nilai ekspor kedua negara turun. Sementara ekspor Amerika ke Cina turun 7,9 miliar dolar AS, nilai ekspor Cina ke Amerika diperkirakan turun 5,3 miliar dolar AS.
Kasan menyebutkan, salah satu komoditas yang berpotensi untuk diekspor Indonesia ke Cina adalah buah-buahan. Selama ini, ekspor komoditas ini ke Cina hanya sebesar 90,9 juta dolar AS atau sekitar 1,43 persen. "Untuk Amerika ke Cina sudah 755,1 juta dolar AS, sekitar 12 persen," ucapnya.
Sementara itu, untuk ke pasar Amerika, Indonesia berpotensi mengekspor komoditas besi dan baja.Sebab, ekspor besi dan baja Indonesia ke Amerika saat ini masih nol.
Sedangkan, Cina telah mengekspor sampai 3,2 juta dolar AS atau menempati 2,65 persen dari total ekspor besi dan baja ke Amerika.
Tapi, Kasan mengingatkan, Indonesia tetap harus memperhatikan kualitas di tengah peluang besar ini. Sebab, banyak negara yang juga sedang mencermati kesempatan, sehingga persaingan akan tinggi.
"Pesaing kita termasuk Malaysia dan Vietnam," tuturnya.