Jumat 21 Sep 2018 16:24 WIB

Petani Bawang: Jangankan Untung, Modal Pun tak Balik

Harga bawang merah petani anjlok karena memasuki panen raya.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Friska Yolanda
Ilustrasi panen bawang merah
Ilustrasi panen bawang merah

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Nasib para petani bawang merah di Kabupaten Indramayu merana. Pasalnya, harga bawang merah saat ini anjlok.

"Jangankan untung, modal pun tak balik seluruhnya. Ini sangat menyakitkan petani bawang merah," ujar seorang petani bawang merah di Kecamatan Sukra, Mardi, Jumat (21/9).

Mardi menyebutkan, bawang merah kualitas super yang siungnya besar-besar saat ini hanya dihargai Rp 7.000 per kg. Sedangkan bawang merah dengan ukuran kecil, hanya dihargai Rp 4.000 per kg. Padahal, idealnya harga bawang merah di atas Rp 10 ribu per kg.

Mardi mengatakan, anjloknya harga bawang merah itu disebabkan oleh masuknya masa panen raya dengan produksi melimpah di berbagai daerah. Kondisi itu diperparah dengan serapan pasar yang cenderung rendah.

Bahkan, kiriman bawang merah dari petani ke Pasar Induk Kramat Jati Jakarta pun nyaris ditolak. Pasalnya, pedagang di sana tak sanggup menampung pasokan yang sedang berlimpah.

Menurut Mardi, petani tak punya pilihan lain kecuali menjual bawang merahnya meski dengan harga rendah. Walau rugi, kerugian mereka akan lebih besar jika membawa pulang kembali bawangnya.

"Untung tak dapat, rugi iya. Tapi mau bagaimana lagi," keluh Mardi.

Mardi menyebutkan, selama masa tanam, dirinya telah mengeluarkan modal besar hingga Rp 50 juta per bau. Sedangkan hasil panen yang diterimanya hanya berkisar setengah dari modal yang telah dikeluarkan.

Menurut Mardi, besarnya modal itu karena mahalnya harga bibit, obat-obatan pertanian maupun upah buruh tani. Belum lagi sewa truk dan biaya transportasi saat membawa bawang merah ke pasar induk.

Kerugian serupa juga dialami seorang petani bawang merah asal Desa Limpas, Kecamatan Patrol, Tato. Tak hanya anjloknya harga bawang, hama ulat yang menyeran tanaman bawang merah di desanya juga telah membuat kerugiannya menjadi lebih besar.

"Kalau harganya anjlok tapi produksinya tinggi bisa ketutup. Ini sudahlah harganya anjlok, hasil panen pun rendah karena serangan ulat," tutur Tato.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement