Jumat 21 Sep 2018 17:36 WIB

KLHK Minta Amdal PLTA Batang Toru Diperbaiki

Proyek pembangkit listrik tersebut berdampak terhadap habitat orangutan.

seekor orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) betina dengan bayi kembar.
Foto: socp
seekor orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) betina dengan bayi kembar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meminta dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) proyek Pembangkit Tenaga Listrik Air (PLTA) Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, untuk diperbaiki. Proyek pembangkit listrik tersebut berdampak terhadap habitat orangutan.

Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno di Jakarta, Jumat, mengatakan pihaknya sudah menyurati Gubernur Sumatera Utara sekaligus perusahaan terkait dokumen Amdal yang belum menyebutkan dampak proyek pembangkit listrik tersebut terhadap habitat orangutan. Karenanya, menurut Wiratno, pihaknya telah meminta PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) untuk memperbaiki dokumen Amdal tersebut, dan harus benar-benar bisa digunakan untuk pedoman kerja di lapangan.

"Dulu mereka sebenarnya sudah minta ahli orangutan melakukan survei, tapi entah kenapa laporannya tidak masuk di dokumen Amdal. Jadi sekarang kita belum tahu menangani orangutannya akan seperti apa," ujar Wiratno.

Sebab lokasi pembangunan fasilitas pembangkit listriknya berada di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) maka ia mengatakan ijin Amdal dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, KLHK harus berkomunikasi dengan Gubernur.

Lebih lanjut Wiratno mengatakan bahwa selama proses perbaikan dokumen Amdal dilakukan, proses pembangunan PLTA tetap dapat berjalan, tetapi harus mengikuti pedoman dari KLHK. "Itu baru bisa disebut 'green business', kalau nggak ya bukan namanya," ujarnya.

Akademisi Universitas Sumatera Utara Jaya Arjuna mengatakan ijin lingkungan PLTA Batang Toru sudah keluar berdasarkan Amdal. Kalaupun dibatalkan artinya harus melalui proses pencabutan, yang hanya bisa dilakukan jika ada cacat hukum, kekeliruan, dan seterusnya.

Namun yang menjadi pertanyaan, menurut Jaya, dengan banyak hal yang tidak dikaji, seperti soal lokasi yang merupakan pusat gempa, debit air yang minimum berpengaruh pada petani dan nelayan di hilir, hingga soal penghasilan masyarakat setempat setelah adanya fasilitas pembangkit listrik tersebut mengapa ijin lingkungan tetap ada.

Ia mengatakan setidaknya sudah membaca tiga perbaikan dokumen Amdal untuk proyek pembangkit listrik berkapasitas 510 Mega Watt (MW). Pembangunan proyek itu dilakukan di Ekosistem Batang Toru yang menjadi habitat Orangutan Tapanuli.

KLHK, menurut Wiratno, sedang menurunkan tim di lapangan, memantau hari per hari pergerakan Orangutan Tapanuli selama proses pembangunan PLTA dilaksanakan. Pada 17 September 2018, ada laporan pergerakan orangutan ke kebun masyarakat.

Tim respons cepat yang dibentuk KLHK ini, ia mengatakan, juga menemukan tiga sarang orangutan di lahan masyarakat. Ini terus dipantau apakah orangutannya masih di sana atau bergerak lagi ke batas hutan.

"Tapi orangutan di sana itu lucu, mereka bisa tinggal di kebun-kebun masyarakat, apalagi kalau musim buah dan baru akan kembali ke hutan berakhir mereka akan pindah ke daerah tinggi lagi. Menariknya masyarakat tidak terganggu dengan adanya orangutan," kata Wiratno.

Tim bekerja sementara ini selama sebulan di lokasi pembangunan PLTA Batang Toru. Mereka harus memonitor dan melaporkan setiap hari yang terjadi di sana, lanjutnya.

sumber : antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement