REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrat menuding relawan Pro Jokowi (Projo) sebagai biang keladi aksi walkout Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam deklarasi kampanye damai di lapangan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Ahad (23/9). Ketua Umum Partai Demokrat itu meninggalkan acara karena terganggu dengan sikap dari kelompok relawan (Projo).
Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi justru mempertanyakan alasan yang membuat Presiden RI keenam itu marah. Budi mengatakan, kehadiran Projo dalam Deklarasi Kampanye Damai Pemilu Serentak 2019 di Monas, bertujuan mendukung pesta demokrasi 2019 berlangsung damai dan penuh kegembiraan.
"Kami hanya membawa energi dan kegembiraan rakyat. Kami hanya bernyanyi Jokowi lagi, Jokowi lagi. Kami tidak memprovokasi siapapun," kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Ahad (23/9).
Budi menegaskan, Projo menghormati setiap partai politik peserta Pemilu 2019. Apalagi SBY sebagai Presiden RI keenam. Rasa hormat Projo kepada SBY sama seperti hormat yang diberikan untuk Megawati Soekarnoputri dan BJ Habibie.
Ia mengatakan, kehadiran Projo dalam acara itu hanya untuk memberi dukungan untuk Joko Widodo agar bisa menjadi Presiden RI dua periode. Tidak ada aroma permusuhan, apalagi amarah dan dendam.
"Tidak ada kata- kata kasar, makian bahkan kami tidak mencemooh siapa pun. Kami berjumpa dengan seluruh pimpinan parpol. Tanya saja kepada mereka apa yang kami lakukan," kata dia.
Menurut Budi, tidak ada yang salah dari nyanyian relawan Projo. Sebab Projo melakukannya di area publik, bukan di area yang menjadi tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Kami hanya bernyanyi dan teriak 'Jokowi lagi, Jokowi lagi', apa itu salah? Bahwa kami hadir dalam jumlah yang besar, penuh semangat kegembiraan, wajar saja," kata dia.
Ia bercerita, ketika rombongan SBY melintas, relawan Projo mengajak dengan nada teriak untuk mendukung Jokowi. Teriakan itu, kata dia, didasari argumen banyaknya kader Partai Demokrat juga yang mendukung Jokowi seperti Soekarwo, Deddy Mizwar, dan Lukas Enembe.
Ia menilai tindakan itu wajar dilakukan. Menurut dia, tidak ada satupun perundangan-undangan yang dilanggar ketika mengajak seseorang mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.
"Kalau enggak mau ya nggak apa-apa. Demokrasi kan menghormati perbedaan pendapat," jelas Budi.