REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh mengatakan jika Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menginginkan harga minyak tak lagi mengalami kenaikan, mereka harus berhenti mencampuri urusan Timur Tengah. Sebab menurutnya tindakan AS di kawasan Timur Tengah, termasuk yang ditujukan terhadap Iran, memengaruhi harga komoditas minyak.
"Trump sedang mencoba untuk secara serius mengurangi eskpor minyak Iran dan juga memastikan harga minyak tidak naik, tetapi keduanya tidak dapat terjadi bersamaan," kata Zanganeh, dilaporkan Iranian Student's News Agency (ISNA), Rabu (26/9).
"Jika dia (Trump) ingin harga minyak tidak naik dan pasar tidak mengalami destabilisasi, dia harus menghentikan intervensi yang tidak beralasan dan mengganggu di Timur Tengah dan tidak menjadi penghalang produksi serta ekspor minyak Iran," ujar Zanganeh menambahkan.
Presiden Iran Hassan Rouhani telah mengatakan negaranya akan terus mengekspor minyak mentah. Hal itu tetap dilakukan meski AS berupaya menghentikannya melalui sanksi ekonomi. “Kami akan terus, dengan semua cara, untuk memproduksi dan mengekspor minyak. Minyak berada di garis depan konfrontasi dan perlawanan,” kata Rouhani awal bulan ini.
Rouhani mengatakan, Iran akan memindahkan terminal ekspor minyak utamanya dari Teluk ke Laut Oman dan membebaskan kapal tankernya serta menggunakan Selat Hormuz yang strategis. Ia menjelaskan, ekspor minyak sudah bergeser dari terminal Pulau Kharg, jauh di Teluk ke Bandar-e-Jask di Laut Oman dan akan selesai pada akhir masa jabatannya pada 2021.
“Ini sangat penting bagi saya, ini adalah masalah yang sangat strategis bagi saya. Sebagian besar dari penjualan minyak kami harus bergerak dari Kharg ke Jask,” ujar Rouhani.
Pada masa lalu, Iran berulang kali mengancam akan memblokir Selat Hormuz. Selat ini diketahui turut digunakan oleh pesaingnya di Teluk, termasuk Arab Saudi, untuk mengirim minyaknya. Selat itu pula yang digunakan Iran ketika menghadapi sanksi atas ekspor minyak dan kemungkinan aksi militer oleh AS.
Bloomberg melaporkan, Iran mengekspor 2,1 juta barel minyak mentah per hari pada Agustus. Namun para analis mengatakan, sanksi AS dapat mengurangi penjualan menjadi sekitar 1 juta barel per hari.
Pada 7 Agustus lalu, AS memutuskan memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Iran. Sanksi itu menargetkan perdagangan logam mulia, industri otomotif, serta sektor keuangan Iran. Sanksi diterapkan setelah Iran menolak keinginan AS untuk merevisi kesepakatan nuklir yang tercapai pada Oktober 2015, yang dikenal dengan istilah Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).