REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah memperkirakan, suku bunga acuan Bank Indonesia masih akan terus naik seiring dengan kebijakan normalisasi di Amerika Serikat. Piter mengatakan, hal itu harus dilakukan BI untuk bisa mengurangi tekanan pada arus modal keluar.
"Saya kira BI sampai tahun depan akan terus mengikuti kenaikan tingkat suku bunga The Fed. Karena tidak ada jalan lain bagi BI, selain menjaga interest rate differential antara suku bunga dalam negeri dengan luar negeri," kata Piter ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (27/9).
Bank sentral AS The Federal Reserve telah menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi kisaran 2 hingga 2,25 persen. Hal itu kemudian diikuti dengan kenaikan tingkat suku bunga BI 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen.
Piter menegaskan, arus modal keluar dari Indonesia menjadi penyebab pelemahan rupiah. Sehingga, BI harus terus menjaga jarak suku bunga acuan di Indonesia dengan AS.
Dia mengatakan, The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga sampai level 3,25. Artinya, hingga tahun depan akan terjadi kenaikan sampai empat kali lagi. "Sekarang suku bunga kita di 5,75 persen berarti naik lagi sampai 6,75 persen," katanya.
Menurut Piter, penyesuaian suku bunga adalah kebijakan yang harus diambil BI. Akan tetapi, selain itu, BI juga harus terus melakukan intervensi untuk menjaga suplai valas di pasar. Pemerintah pun juga harus terus berupaya menahan laju impor dan mendorong ekspor untuk memperbaiki tingkat defisit neraca transaksi berjalan.
Salah satu imbas dari kenaikan suku bunga acuan bank sentral adalah kenaikan suku bunga kredit. Piter menyebut, hal itu alamiah terjadi. Meski begitu, dia menilai, BI memiliki cukup ruang bahkan untuk bisa menyesuaikan suku bunga sampai 100 basis poin hingga tahun depan.
"Suku bunga saat ini 5,75 persen. Dalam sejarah suku bunga BI, itu masih rendah. Kita pernah mengalami masa-masa suku bunga di atas 7 persen," kata Piter.