Jumat 28 Sep 2018 15:53 WIB

Pengamat Ekonomi: Impor Beras Blunder tanpa Analisa

Risiko kesalahan data impor berdampak negatif kepada jutaan petani

Red: EH Ismail
 Pengamat ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Sahara Djaenudin
Pengamat ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Sahara Djaenudin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Sahara Djaenudin mengatakan impor komoditas pangan utama seperti beras ke dalam negeri dinilai berisiko dan menjadi blunder jika tidak berdasarkan analisa yang mendalam dan cermat. Risiko kesalahan data mengenai impor akan berdamapak negatif kepada jutaan petani.

Menurut Sahara, soal beras memerlukan pembenahan data antar sektor instansi yang berwenang. Simpang siur informasi dan data mengenai kebijakan impor beras justru menjadi blunder dan tak mencapai sasarannya untuk pendukung ekonomi negara Indonesia.  Padahal, sambungnya, yang diharapkan dari kebijakan oleh sebuah pemerintahan adalah menjaga stabilitas ekonomi, dalam kasus beras stabilitas harga pangan dalam negeri.

“Contoh, ketika saat ini produksi beras cukup dan impor masuk, maka banjir beras di pasar. Jika harga beras di pasar turun lalu harga diterima petani tidak menutupi biaya produksi, di musim panen mendatang petani jadinya tidak mau lagi menanam padi," kata Sahara di Jakarta, Kamis (27/9).

Sahara menambahkan, impor tanpa analisa dan studi yang mendalam, apalagi stok beras di pasaran cukup, maka secara hukum ekonomi akan membuat harga menurun. Imbasnya jangka panjang terhadap petani adalah kesejahteraan yang rendah sebab mengecilnya angka pendapatan dari pekerjaannya.

“Makanya yang menerima dari dampak besar diberlakukannya impor ketika masa produksi atau masih sedang panen adalah petaninya sendiri sebagai produsen utama beras. Jika petani tak memperoleh margin atau insentif dari subsektor padi yang ditanamnya, maka membuka kemungkinan mereka pindah untuk menanam komoditas pertanian lainnya sehingga Indonesia ke depannya akan minim produksi beras,” tambahnya.

Sahara menjelaskan, kebijakan mengenai impor komiditas pangan perlu diimbangi dengan kepastian jaminan perlindungan konsumen dengan kebijakan tertentu. Ia mengingatkan, penetapan diberlakukannya impor beras jangan sampai menjadi keuntungan untuk pemburu rente.

"Misalnya kuota tadi berapa ribu ton jumlahnya diberikan kepada oknum rente, nah pihak tersebut yang dapat keuntungan. Sedangkan pemerintah dan konsumen tidak dapat apa-apa. Istilahnya tidak dapat penerimaan," terangnya.

Sebagai informasi, Kementrian Pertanian, menyebutkan luas tanam padi terus bertambah jumlahnya dari tahun lalu sampai kini. Pada Agustus 2017, luas tanam padi adalah 805 ribu hektare, sedangkan bulan yang sama 2018 telah mencapai 1,05 juta hektare. Kementerian Pertanian menargetkan pada September telah bertambah lagi angka luas tanam padi menjadi 1,5 juta hektare. Produksi panen pangan tercatat pada 2017 juga mencapai 81 juta ton.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement