REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) sedang memperjuangkan perubahan harga rumah subsidi. Usulan tersebut sudah diserahkan kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk dibahas.
Ketua Umum DPP REI, Soelaeman Soemawinata dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera), Sabtu (28/9) menyebutkan kenaikan harga ditetapkan berdasarkan analisa harga yang diperoleh dari semua daerah, dirangkum menjadi satu harga yang paling ideal.
Rata-rata seharusnya setiap daerah kenaikannya sekitar 10 persen, namun REI mengusulkan kenaikan setiap tahun hanya sekitar 7,5 persen dari sebelumnya 5 pertahun.
Hal itu dilakukan guna tetap menjaga agar harga rumah subsidi masih dapat dijangkau masyarakat luas. "Tetapi itu usulan dari REI, bukan keputusan," kata Eman.
Pihaknya akan memperjuangkan besaran tersebut sehingga pengembang di daerah punya ruang untuk bisa mengembangkan hunian-hunian yang lebih berkualitas untuk masyarakat.
Kenaikan harga rumah subsidi diusulkan karena kendala dan situasi di tiap daerah yang beda. Kondisi lahan yang tanah keras, tanah sawah, tanah rawa, tanah lepung dan lain-lain, sehingga biaya untuk pematangan lahannya juga beragam.
Ketersediaan material bangunan, setiap daerah yang beda. Ada daerah yang mudah dan sulit seperti di ujung timur Indonesia, atau di daerah kepulauan. Semua faktor itu perlu dipertimbangkan, dan tidak bisa disamaratakan.
Di bidang pertanahan, REI sangat intens berkomunikasi dengan Kementerian Agraria, Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk menyelesaikan berbagai persoalan pertanahan dan tata ruang di seluruh Indonesia.
Sebagian besar daerah saat ini sudah dapat menikmati kemudahan proses sertifikasi tanah BPN. "Kalau ada masalah, sekarang kita bisa selesaikan dengan cepat, itu garansi dari Pak Menteri Sofyan Djalil," kata Eman.
REI juga telah mengusulkan peningkatan mutu rumah MBR dalam skala 20 persen di atas harga yang ditentukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), yang dikenakan PPh 2,5 persen hanya yang 2o persen saja. Karena kendala di setiap daerah berbeda.
Sebagai contoh, Di Balikpapan rumah MBR dibangun di areal yang kondisi tanahnya terjal, sehingga biaya cut and fill struktur dan grading-nya menjadi lebih mahal. Sementara harga jual dibatasi dengan ketentuan PMK. Ini penting diperjuangkan sehingga pengembang punya ruang untuk tetap dapat membangun rumah subsidi berkualitas.
Relaksasi perpajakan juga telah diusulkan untuk membangkitkan sektor properti yakni terkait pajak final supaya tetap diberlakukan karena ada isu pajak nonfinal. Kemudian pajak tanah terlantar juga sudah tidak diperlukan lagi diwacanakan, dan pajak-pajak lain terkait properti. "Kita pantau dan urusin terus soal pajak-pajak properti ini," katanya.
Di bidang infrastruktur dan tata ruang. REI sudah memperjuangkan supaya pemerintah membuat aturan zonasi khusus bagi rumah murah yang diatur dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
Kendala utama pengembangan rumah murah, selain persoalan izin, juga soal rendahnya infrastruktur serta akses ke transportasi publik. Dengan adanya zona khusus rumah MBR maka infrastruktur kawasan mendapat prioritas pemerintah, dan harga tanah bisa terkendali.
Persoalan tata ruang di daerah banyak sekali. Di Kalimantan Selatan banyak kasus pengembang sudah memiliki izin lokasi dan sudah punya site plan, namun saat waktu mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tidak bisa karena peruntukkan berubah.