REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Armada kapal nelayan Cina semakin harus mengarungi laut yang dalam guna menangkap lebih banyak makanan laut. Kebutuhan Cina pada makanan laut mencakup sepertiga dari kebutuhan dunia.
Salah seorang nelayan Cina tersebut adalah Kapten Lin Jianchang yang sudah lama menjadi nelayan. Namun pria berusia 54 tahun tersebut mengakui semakin sulitnya untuk mencari ikan di lautan.
"Ketika saya pertama kali melaut, kapal kami sudah penuh hanya dalam waktu satu jam saja, ikan ada di mana-mana. Sekarang ikan semakin berkurang, dan jarang sekali bisa mendapatkan yang besar," ujarnya.
Persediaan ikan dunia memang menipis. Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) memperkirakan sekitar 90 persen persediaan ikan sudah hilang dan Cina menjadi salah satu penyebab berkurangnya pasok ikan tersebut. Cina adalah negara terbesar yang memiliki armada untuk mencari ikan di laut-laut terdalam.
Pemerintah Cina memberikan subsidi besar bagi kapal nelayan mereka. Hal itu karena permintaan makanan laut yang tidak ada hentinya. Di kota pelabuhan Zhoushan di kawasan pantai Timur Cina, sekitar 500 kapal ikan melaut di hari pertama musim menangkap ikan.
Musim baru selalu lebih sulit dibandingkan musim sebelumnya. Kapal-kapal itu harus mengarungi laut yang lebih dalam, dan bertahan di sana lebih lama untuk mendapatkan ikan.
Laut di sekitar Cina praktis tidak lagi memiliki ikan. Namun armada perikanan komersial Cina masih besar. Dengan sekitar 200 ribu kapal ikan ini mencakup sekitar 50 persen dari kegiatan pencarian ikan dunia.
Belasan kapal kembali ke Zhosuhan dengan tangkapan pertama musim ini, kepiting. Tangkapan tahun ini lumayan bagus, tetapi hanya separuh dibandingkan tahun lalu.
Sekarang banyak kepala nelayan kecil hanya bisa menangkap ikan yang mereka sebut 'ikan sampah', ikan-ikan kecil yang tidak laku dijual, dan biasanya diberikan sebagai pakan ikan di tambak.
Seperti banyak orang lainya di Zhoushan, hal yang tetap membuat Kapten Lin dan awaknya bekerja adalah karena adanya subsidi pemerintah. "Harga solar dan memperbaiki kapal akan memakan biaya sekitar 40 ribu dolar Australia (sekitar Rp 400 juta). Pemerintah memberikan subsidi sekitar Rp 200 juta." kata kapten Lin.
Pemerintah Cina sudah memberikan subsidi sekitar 28 miliar dolar AS selama empat tahun terakhir bagi kelompok nelayan.
Kapal trawler raksasa Cina menghabisi pasok ikan dunia
Subsidi ini membuat banyak orang tetap memiliki pekerjaan, namun penangkapan ikan berlebihan mengancam seluruh ekosistem perikanan. Wang Dong, kapten sebuah kapal kecil mengatakan 2.600 kapal trawler raksasa di Cina membuat mustahil untuk bisa bertahan hidup.
"Persediaan ikan memang menurun, namun jaring ikan yang dimiliki kapal-kapal raksasa ini menghancurkan semuanya." kata Kapten Wang.
"Kapal besar ini memiliki mesin lebih besar, dan ketika mereka lewat hampir tidak ada ikan lagi yang tersisa, besar maupun keci."
Pemerintah mengatakan sudah mengambil tindakan, paling tidak mereka bisa melakukan sesuatu terhadap kapal-kapal kecil.
Li Wenlong adalah manajer perusahaan Zhoushan Fishery yang mengatur keamanan armada Zhoushan. "Kami sekarang mengambil tiga langkah: memperluas masa larangan penangkapan ikan, melepaskan lebih banyak benih ikan, dan mulai mengurangi jumlah kapal untuk mengurangi tangkapan." kata Li.
Namun pihak berwenang mengakui bahwa di laut susah untuk mengatur keberadaan kapal-kapal trawler raksasa tersebut. Sudah ada aturan berkenaan dengan hukuman bagi kapal-kapal tersebut, namun kapal-kapal besar ini kadang tidak melaporkan hasil tangkapan mereka.
Banyak pakar mengatakan bahwa sekarang ini sudah terlambat untuk menyelamatkan pasok ikan dunia. Zhou Wei adalah manajer proyekl kelautan di Greenpeace East Asia.
"Kita berada di titik kritis sekarang. Pasok ikan dunia terus berkurang." kata Zhou.
"Kita telah kehilangan dua pertiga ikan besar. Juga sekitar 90 persen pasok ikan dunia sudah ditangkap.'
Kapal-kapal trawler besar ini sekarang mulai mencari ikan di kawasan Lautan Pasifik Barat Daya, Amerika Selatan, dan Afrika Barat. Tidak saja mereka menghabiskan pasok ikan, namun juga membuat komunitas miskin di kawasan tersebut semakin menderita.
Greenpeace East Asia baru-baru ini melakukan penelitian mengenai dampak kapal trawler ini di Afrika Barat. "Di Afrika Barat, tujuh juta orang menggantungkan hidup dari ikan sebagai mata pencarian, dan pekerjaan, dan banyak yang lain menggantungkan diri pada ikan sebagai makanan dan sumber protein hewani." kata Zhou.
"Bagi penduduk setempat ini adalah sumber hidup mereka, tetapi bagi armada kapal besar ini hanya sekedar bisnis."
Sumber semuanya adalah permintaan yang terus meningkat. Meningkatnya kemakmuran di Cina di mana makanan laut dianggap sebagai makanan mewah, sekarang semakin banyak dicari. Tidak banyak pembicaraan saat ini mengenai masalah keberlanjutan pasokan ikan di Cina. Para aktivis mengatakan kampanye publik mengenai masalah tersebut sangat dibutuhkan.
Banyak pakar mengatakan bila Cina dan negara lain tidak mengubah cara mereka menangkap ikan, hampir tidak akan ada ikan tersisa nantinya bagi generasi berikutnya.
Lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini