Senin 01 Oct 2018 18:21 WIB

Kurs Rupiah Kembali Ditutup Melemah di Awal Pekan Ini

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga ditutup di zona merah.

Rep: Iit Septiyaningsih/ Red: Budi Raharjo
Petugas menghitung pecahan dolar Amerika Serikat dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta,Ahad (2/9).
Foto: Republika/Prayogi
Petugas menghitung pecahan dolar Amerika Serikat dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta,Ahad (2/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kurs rupiah kembali ditutup melemah pada awal pekan sekaligus awal bulan ini, Senin, (1/10). Dilansir Bloomberg, pelemahannya sebesar delapan poin atau 0,05 persen ke Rp 14.911 per dolar AS.

Sebelumnya pada pagi tadi, mata uang Garuda itu sempat dibuka menguat lima poin atau 0,03 persen di Rp 14.898 per dolar AS. Hanya saja, sekitar pukul 09.00 WIB, laju rupiah berbalik melemah sepanjang hari.

Sementara itu, berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), kurs rupiah hari ini berada di posisi Rp 14.905 per dolar AS. Angka tersebut membaik dibandingkan posisi Jumat lalu, (28/9), di Rp 14.929 per dolar AS.

Tidak berbeda dengan pergerakan rupiah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga ditutup di zona merah. Dengan pelemahan sebesar 0,53 persen atau 31,95 poin di 5.944,6.

Sebelumnya pada akhir perdagangan sesi I, indeks saham melemah 0,4 persen atau 24,15 poin. Hal itu membuatnya berada di posisi 5.952,4.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memperkirakan, rupiah akan bergerak di kisaran Rp 14.900 per dolar AS sampai Rp 14.950 per dolar AS. "Faktor global dan domestik sama-sama mendominasi pergerakan rupiah pekan ini," katanya di Jakarta, Senin, (1/10).

Di antaranya adanya kenaikan harga minyak. Kenaikan harga minyak mentah hingga 82 dolar AS per barel atau melonjak 23,1 persen year to date (ytd), menurutnya disebabkan oleh berkurangnya pasokan paska boikot minyak Iran yang diserukan Trump.

"Bagi Negara net importir minyak seperti Indonesia, naiknya harga minyak dapat menyebabkan defisit migas yang semakin lebar. Permintaan dolar AS secara alamiah akan terus meningkat. Wacana kenaikan harga BBM pun menjadi momok inflasi hingga akhir 2018," tutur Bhima.

Kondisi eksternal, kata dia, diperparah oleh deadlock anggaran belanja pemerintah Italia. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan di daerah Uni Eropa pascakrisis utang tahun 2013 lalu. Ditambah ketidakpastian Brexit dibawah pemerintahan Theresa May menimbulkan pelemahan Euro terhadap USD sebesar 1,29 persen seminggu terakhir.

Kemudian pada pekan ini, Amerika Serikat (AS) akan mengumumkan data tenaga kerja. Sebelumnya pada Agustus, jumlah lapangan kerja baru yang berhasil tercipta sebanyak 201 ribu orang. Diprediksi lapangan kerja September kembali mencatatkan kenaikan diatas 180 ribu orang.

"Alhasil pengangguran di AS turun ke 3,8 persen atau terendah dalam 18 tahun terakhir. Situasi ini menciptakan spekulasi terhadap kenaikan Fed rate yang lebih cepat dari prediksi awal," katanya.

Dollar Index yang merupakan perbandingan dolar AS terhadap mata uang lainnya mencapai level 95. Maka, Bhima menilai, Kenaikan Dollar Index jadi sinyal tren super dolar berlanjut dan menghantam mata uang negara berkembang.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement