Selasa 02 Oct 2018 16:15 WIB

Emir Kuwait dan Pangeran MBS Bahas Krisis Teluk

Belum ada kemajuan dalam proses penyelesaian krisis Teluk.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman
Foto: REUTERS/Charles Platiau
Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman

REPUBLIKA.CO.ID, KUWAIT CITY -- Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) membahas krisis antara negara Teluk dan Qatar dengan Emir Kuwait Syeikh Sabah al-Ahmad al-Sabah. Pertemuan keduanya dilaporkan media Pemerintah Kuwait.

Mengutip sumber-sumber diplomatik yang mengetahui pertemuan tersebut, MBS dan Syeikh Sabah mengadakan diskusi cukup mendalam perihal krisis Teluk.  "Kunjungan itu datang pada tahap kritis yang melewati wilayah tersebut (Teluk)," kata laporan kantor berita Turki Anadolu Agency, mengutip sumber diplomatik.

Syeikh Sabah merupakan tokoh yang memediasi perselisihan antara Qatar dan negara-negara Teluk, yakni Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain. Namun peranan Syeikh Sabah belum membuahkan hasil positif lantaran pihak-pihak yang berselisih tetap mempertahankan pendiriannya.

Baca juga, Rencana Saudi akan Ubah Qatar Jadi Pulau.

Sementara Menteri Luar Negeri Qatar Syeikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani mengatakan, belum ada kemajuan dalam proses penyelesaian krisis Teluk yang telah berlangsung lebih dari setahun. Pada Jumat pekan lalu, Al-Thani bersama Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo dan Menteri Luar Negeri Saudi Adel al-Jubeir mengadakan pertemuan dengan para mitra di Dewan Kerja Sama Teluk (GCC).

Dalam pertemuan itu, Pompeo mengatakan, mereka yang hadir memiliki kepentingan bersama dalam berbagai masalah keamanan. Namun hal itu tak memberi dampak apa pun dalam penyelesaian krisis Teluk.

Al-Thani menegaskan negaranya selalu terbuka untuk berdialog dengan Saudi dan sekutu-sekutunya. “Kami berterima kasih atas upaya Presiden AS Donald Trump untuk mencoba memecahkan krisis ini, tetapi tanggapan dari negara-negara pemblokade (Teluk) tidak positif,” ujarnya, dikutip laman Al Araby.

Pada 5 Juni 2017 Arab Saudi, Mesir, Bahrain, dan Uni Emirat Arab memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Keempat negara kemudian memblokade seluruh akses dari dan menuju Qatar.

Hal itu dilakukan karena keempat negara menuduh Qatar menjadi pendukung dan penyokong kelompok ekstremis dan teroris di Teluk. Tuduhan tersebut pun segera dibantah oleh Doha.

Belakangan negara-negara Teluk mengajukan 13 tuntutan kepada Qatar. Tuntutan tersebut harus dipenuhi bila Qatar ingin terbebas dari blokade dan embargo. Namun Qatar telah menyatakan, poin-poin dalam tuntutan tersebut tidak realistis dan mustahil dipenuhi.

Adapun tuntutan tersebut antara lain meminta Qatar memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran, menghentikan pendanaan terhadap kelompok teroris, dan menutup media penyiaran Aljazirah.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement