REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) menjelaskan fenomena likuifaksi yang kini tengah terjadi di Palu, Sulawesi Tengah akibat tanah yang strukturnya pasir dan jenuh air. Ketua IAGI Sukmandaru Prihamoko menjelaskan, likuifaksi terjadi di daerah yang meski permukaan tanahnya bebatuan dan keras tetapi dasarnya pasir.
Seperti misalnya pasir pantai dan jenuh atau air penuh. Kondisi seperti itu yang membuat banyak masyarakat yang mendirikan rumah atau membangun jalan di tanah yang terlihat keras."Padahal tanah seperti itu bisa memungkinkan terjadinya likuifaksi," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (2/10) malam.
Sebenarnya, dia menjelaskan, lapisan tanah dengan kondisi seperti itu aman jika terjadi di daerah yang tidak terjadi gempa seperti di Pulau Kalimantan. Tetapi hal itu berbeda ketika kondisi geologi tanah itu terjadi di Palu yang dialui sesar Palu-Koro yang aktif bergerak dan menyebabkan gempa.
"Bahkan dari pemetaan geologi, daerah yang rawan likuifaksi lebih dari 50 persen wilayah di Palu. Makanya kita bisa lihat rumah bisa tenggelam, atau hanyut di atas tanah akibat likuifaksi," ujarnya.
Disinggung mengenai apakah kemungkinan likuifaksi bisa diminimalisasi, ia menyebut tergantung kondisi lapisan keras, lapisan lunak, yang kemudian dibor. Kendati demikian, ia menyebut biaya bor jika terlalu dalam juga mahal, melebihi harga rumah.
Karena itu, ia menyarankan kondisi geologi tanah demikian jangan mendirikan bangunan di tanah seperti itu. Ia memberi masukan supaya pemerintah ketika akan merekonstruksi dan rehabilitasi Kota Palu bisa menerapkan laporan geologi 2012 lalu yang telah memetakan daerah sebelah mana di Kota Palu yang rawan likuifaksi baik rawan tingkat tinggi, sedang, dan rendah. "Laporan itu sudah ada di Badan Geologi, tinggal pemerintah pakai saja untuk pengaturan tata ruang," katanya.