REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Secara geografis, Kota Palu membentang di dataran yang subur akibat endapan sungai. Letaknya persis di lekukan teluk dikelilingi pegunungan tinggi yang kaki-kakinya memiliki kemiringan tajam ke bawah laut.
Letak geografis yang menjadikan Palu sebagai daerah permukiman ideal ini pula, menurut pakar geologi, yang justru menjadikannya rentan jika terjadi bencana.
Di saat upaya penanganan gempa dan tsunami masih terus berlangsung sejak bencana menerjang Jumat (28/9) lalu, pakar geologi Australia coba menjelaskan secara ilmiah bagaimana proses terjadinya bencana.
Dia menjelaskan terjadinya peristiwa geologis berantai, yaitu gempa bumi skala besar yang mencairkan tanah gembur dan kemungkinan menyebabkan tanah longsor di bawah laut. Kemudian, tanah longsor itu memicu gelombang tsunami yang intensivitasnya tinggi karena terjadi di perairan berbentuk teluk.
Data gempa bermagnitudo 7,5 masih terus dikumpulkan, begitu juga data sebelum dan sesudahnya. Namun para pakar sependapat bahwa gempa tersebut kemungkinan disebabkan pergerakan patahan bumi yang dikenal sebagai Patahan Palu-Koro Patahan ini membentang utara-selatan dan membelah Pulau Sulawesi pada garis yang melewati Teluk Palu.
"Ini salah satu patahan bumi paling aktif di dunia," ujar Dr Jane Cunneen dari School of Earth and Planetary Sciences pada Curtain University.
Palu-Koro merupakan patahan di mana keduanya bergesekan satu sama lain secara horizontal. Itu berbeda dengan patahan dorong yang bergerak mendorong patahan lainnya.
Patahan Palu-Koro biasanya bergeser 30 hingga 40 milimeter per tahun. Sisi baratnya bergerak ke selatan sementara sisi timur bergerak ke utara. Prof Adam Switzer dari Asian School of the Environment menjelaskan gempa pada jenis patahan ini menimbulkan getaran luar biasa dan kedua sisinya bergerak secara signifikan.
"Indikasi awalnya terlihat pada adanya pergeseran (tanah) beberapa meter," katanya.
Episentrum gempa tidak selalu berada di garis utama patahan bumi. Dalam gempa di Sulteng, diketahui episentrumnya terletak di sebelah utara patahan utama. Pakar geologi Phil Cummins dari Australian National University mengatakan, memang masih misterius bagaimana gesekan patahan bumi ini memicu tsunami.
Dia mengatakan, tsunami lebih mungkin terjadi dalam peristiwa gempa pada patahan dorong. Sebab, katanya, gerakan vertikalnya mendorong air laut ke atas, menumbulkan gelombang bergerak.
Namun semua pakar yang dihubungi ABC sependapat bahwa gempa bumi di Sulteng telah menyebabkan tanah longsor di bawah laut. Gunung-gunung yang curam di Palu memiliki kaki dengan kemiringan tajam ke laut dalam. Diperkirakan satu atau lebih lereng gunung di bawah laut ini rusak oleh gempa, sehingga menyedot air laut ke bawah.
Longsor tebing-tebing di bawah laut itu menyedot air ke bawah dan kemudian mendorongnya ke atas sehingga menimbulkan gelombang tsunami. "Akibatnya terjadi pergerakan gelombang," kata Prof Cummins.
Apakah teluk memperburuk situasi?
Para pakar yang dihubungi ABC menjelaskan bentuk teluk yang sempit di depan Kota Palu turut mengintensifkan efek gelombang ketika terjadi tsunami. Mereka ingin memastikan apakah gelombang tsunami itu bermula di dalam atau di luar teluk atau justru dari banyak titik di perairan tersebut.
Prof Cummins mengatakan upaya ini rumit karena bergantung pada keterangan saksi mata. Pasalnya, alat pengukur gelombang pasang tidak berfungsi di teluk itu ketika tsunami terjadi.
Tim peneliti akan menyisir lokasi bencana guna menentukan di mana gelombang berakhir serta seberapa tingginya. Jika gelombang tsunami bermula di luar teluk, atau dekat mulut teluk, dipastikan bentuk geografis teluk ini telah meningkatkan kekuatan tsunami tersebut.
Kemungkinan lain, kata Prof Cummins, yaitu salah satu ujung teluk kemungkinan alami longsor, memicu pergerakan gelombang dan menciptakan efek yang sama seperti yang kita lihat dalam bak mandi.
Beberapa informasi juga menunjukkan bangunan yang tergelincir dan meluncur seolah-olah bergerak di atas air. Badan penanggulangan bencana mengatakan ada lumpur yang muncul naik dari dalam tanah, menyeret rumah-rumah dan pepohonan. Fenomena itu, yang disebut likuifaksi, adalah akibat dari perkotaan yang dibangun di atas dataran datar yang terbentuk dari endapan tanah longgar, atau tanah berpasir.
Air tanah yang tinggi juga berkontribusi menyebabkan tanah jadi cair dan tidak stabil. Air tersebut bergerak naik di antara retakan saat tanah bergetar. Ciri goyangan gempa seperti ini dipastikan memperburuk likuifaksi, mengaduk air tanah sedemikian rupa sehingga muncul gelembung lumpur dari bawah tanah, melemahkan fondasi bangunan serta mencabuti pepohonan yang dilaluinya.
Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.