Rabu 03 Oct 2018 17:56 WIB

Pemahaman Agama Secara Komprehensif Antisipasi Radikalisme

Pendidikan agama di sekolah umum terlalu sedikit porsinya.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Ani Nursalikah
Nasaruddin Umar- Imam Besar Masjid Istiqlal
Foto: Republika/ Wihdan
Nasaruddin Umar- Imam Besar Masjid Istiqlal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Penanggulangan Ekstremisme, Radikalisme dan Terorisme (BPERT) Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar seminar nasional bertema Penanggulangan Bahaya Radikalisme dan Ekstremisme di Indonesia di Hotel JS Luwansa pada Rabu (3/10).

Imam Masjid Istiqlal, Prof Nasaruddin Umar yang menjadi narasumber di seminar berpandangan, untuk mengantisipasi paham radikal maka harus memahami agama secara komprehensif. Dia mengatakan, dulu asumsi orang jurusan umum di perguruan tinggi lebih radikal daripada jurusan agama.

Tapi berdasarkan hasil penelitian UIN Jakarta, fakultas agama juga sudah terkontaminasi paham radikal. Fakultas agama memang lebih sedikit yang terpapar dibanding fakultas umum sebab mahasiswanya mengetahui ilmu agama.

"Kalau jurusan agama tahu asbabun nuzul dan asbabul wurud, dia tahu mana yang duluan harus diamalkan, tapi kalau membaca agama dengan kacamata kuda itu bisa menimbulkan radikal," kata Prof Nasaruddin kepada Republika.co.id di sela-sela seminar, Rabu (3/10).

Menurutnya, solusi untuk mengantisipasi paham radikal dengan cara memberikan pemahaman agama dengan komprehensif. Umat Islam jangan hanya membaca ayat-ayat hukum fikih saja, baca juga ayat-ayat tasawuf, ekonomi, sains dan teknologi. Jadi Alquran harus dipahami secara komprehensif.

Ia menerangkan, kalau ada yang menghilangkan asbabul wurud hadis dan asbabun nuzul ayat, maka akan berpotensi melahirkan pemahaman yang keras. Menurutnya, tidak harus semuanya mengikut apa yang dilakukan nabi. Contohnya nabi makan dengan menggunakan tiga jari tangan, makanan nabi waktu itu roti.

"Kalau kita makan nasi, haruskah kita makan dengan tiga jari juga, jadi ada konteks yang harus kita pahami," ujarnya.

Untuk mengantisipasi paham radikal, dia menyampaikan, sebaiknya mencoba melakukan sesuatu yang lebih mendasar. Perlahan-lahan lakukan perbaikan sistem pendidikan karena pendidikan agama di sekolah umum terlalu sedikit porsinya.

Bayangkan pelajaran agama hanya dua jam dalam sepekan, kurikulum 2013 meningkatkannya menjadi tiga jam dalam sepekan. Apakah cukup dalam waktu dua jam selama sepekan anak-anak bisa belajar agama. Jadi tidak mungkin mempelajari agama secara komprehensif kalau waktu belajarnya sedikit.

"Untungnya sekarang ada (belajar) privat, tapi siapa yang bisa privat? (mereka) yang punya uang bisa privat, orang miskin tak punya biaya untuk membayar kursus privat agama anaknya," jelasnya.

Prof Nasaruddin menegaskan, maka negara harus memberikan jalan keluar supaya umat beragama memahami ajaran agama secara komprehensif. Sebab kalau pelajaran agamanya sporadis akan berpotensi melahirkan radikalisme.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement