REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerak cepat Polri dalam mengusut kasus kebohongan Ratna Sarumpaet menimbulkan tanda tanya oleh sejumlah politikus. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo pun mengatakan, cepatnya kasus ini karena Polri dibantu oleh situasi yang mendukung.
"Contoh saja, ketika saya di-challenge pak ini ada ini (dugaan penganiayaan di Bandung) polisi kok belum bergerak?'. Saya langsung tanya Polda Jabar," ucap Setyo di PTIK sebagai kantor sementara Divhumas Polri, Jakarta, Kamis (5/10).
Setyo mengatakan, fakta-fakta di lapangan ternyata mudah dibuktikan. Misalnya pengakuan Ratna bahwa ia dipukuli setelah konferensi internasional di Bandung. Padahal, polisi tidak mendapati laporan adanya konferensi internasional di Bandung.
"Itu sudah menggugurkan asumsi yang mengatakan dia dipukuli, sebelumnya dia mengaku ini itu," ujar Setyo.
Baca juga, Ratna Sarumpaet Akui tak Menjadi Korban Penganiayaan.
Rentetan fakta temuan polisi pun kemudian dapat membuktikan dengan mudah. "Apalagi didukung keterangan dari bandara menguatkan bahwa tidak ada info kejadian tanggal 21 kemudian didukung lagi menggunakan cek posisi nomornya Bu Ratna Sarumpaet," kata Setyo.
Sebelumnya, Kepolisian membongkar fakta berbeda terkait dugaan penganiayaan yang dialami Ratna Sarumpaet. Ratna mengaku dipukuli di Bandung pada 21 September 2018.
Namun, penyelidikan polisi menemukan bahwa Ratna di Jakarta pada tanggal tersebut, tepatnya di RS Bina Estetika hingga tangga 24 September. Lebam di muka Ratna pun ternyata diakibatkan operasi sedot lemak yang dijalaninya.
Belakangan Ratna pun mengakui bahwa ia berbohong pada sejumlah politikus terkait penganiayaan yang dialaminya. Sejumlah politikus tersebut yang menyampaikan bahwa Ratna dipukuli di antaranya, Prabowo Subianto, Fadli Zon, Sandiaga Uno, Dahnil Anhar dan belasan lainnya.