REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- India mendeportasi tujuh pengungsi Muslim Rohingya ke Myanmar pada Kamis (4/10). Hal ini dilakukan meskipun ada protes dari aktivis hak asasi manusia (HAM) dan peringatan dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Menurut aktivitis HAM dan PBB, tujuh pengungsi itu bisa menghadapi penganiayaan di negara asalnya, Myanmar. Pasukan keamanan negara itu dituduh melakukan serangan genosida terhadap kaum minoritas.
Seorang pengacara HAM, Prashant Bhushan, yang berbasis di Delhi, mengajukan banding pada menit terakhir terhadap Mahkamah Agung India. Ia berusaha menghentikan deportasi terhadap tujuh pengungsi tersebut. Menurut dia, mereka akan menghadapi pembalasan saat mereka kembali ke Myanmar.
Sebelumnya, pengadilan mengatakan tidak ingin mencampuri keputusan pemerintah pusat. Ketujuh pengungsi yang dideportasi itu berusia 26-32 tahun.
Mereka telah ditahan di pusat-pusat penahanan di negara bagian Assam di India timur sejak mereka ditangkap sebagai imigran gelap pada 2012. Mereka dibawa ke negara bagian Manipur pada Rabu (3/10) dan dikirim melintasi perbatasan ke Myanmar pada Kamis (4/10).
"Prosedur deportasi untuk orang-orang Rohingya selesai setelah mereka diserahkan kepada pejabat keamanan Myanmar di pos perbatasan Moreh (di Manipur) sore ini," ujar Kepala Polisi Distrik Tengnoupal, Ibomcha Singh, di mana Moreh berada yang dilansir di VOA News pada Jumat (5/10).
Beberapa wanita dan anak-anak Rohingya di sebuah daerah pengasingan merupakan pengungsi yang tidak dikenal di India timur pada April 2018. Rupanya karena takut ditangkap sebagai imigran gelap di India, banyak dari pengungsi ini meninggalkan India timur baru-baru ini.
Mereka tersebar di bagian lain negara itu. Beberapa bahkan menyeberangi perbatasan dan berlindung di Bangladesh.