REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr Syamsul Yakin MA
Di dalam surat al-Balad Allah SWT berfirman, “Aku bersumpah dengan negeri ini (Mekkah) dan engkau (Muhammad), bertempat tinggal di negeri (Mekah) ini, dan demi (pertalian) bapak dan anaknya. Sungguh Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah. Apakah dia (manusia) itu mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang berkuasa atasnya? Dia mengatakan, “Aku telah menghabiskan harta yang banyak”. Apakah dia mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang melihatnya?” (QS. al-Balad/90: 1-7).
“Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata, dan lidah dan sepasang bibir? Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan). Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sulit. Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sulit itu? (Yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya), atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir.” (QS. al-Balad/90: 8-16).
“Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman, dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan. Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri. Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat.” (QS. al-Balad/90: 17-20).
Surat ini tergolong Makiyah. Secara sosio-historis turun, salah satu ayatnya, terkait dengan Abu Asyad Ibn Kildah yang merasa perkasa dan banyak harta.
Tampak pada ayat 1-7 di atas potensi untuk memerdekakan kota Mekkah dari dominasi kafir Quraisy. Pertama, Allah sangat memuliakan kota Mekkah. Menurut Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Munir, Allah memuliakan kota Mekkah sejak Allah menciptakan langit dan bumi hingga hari kiamat.
Kedua, Nabi SAW sendiri tinggal di kota itu, sehingga memahami segala kondisi, baik historis, sosiologis, dan psikologis. Apalagi Nabi Adam, Ibrahim, dan Ismail memiliki pertalian keturunan yang erat dengan Nabi SAW. Ketiga, namun untuk bisa memerdekakan negeri, termasuk kota Mekkah, seseorang harus bersusah payah.
Secara kultural, Nabi SAW menghadapi bangsa Arab yang berwatak keras dan hipokrit. Oleh karena itu yang pertama kali harus dilakukan oleh Nabi SAW adalah membongkar tradisi itu. Namun dalam perjalanan, Nabi SAW mengalami banyak tantangan dan perlawanan secara fisik maupun psikologis.
Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir Munir, misalnya, memberi gambaran tentang hal itu dengan mengutip sesumbar Abu Asyad Ibn Kildah, “Aku telah mengeluarkan dana yang banyak untuk memusuhi Muhammad.” Untuk bisa memerdekakan negeri, seseorang harus siap menerima segala bentuk konfrontasi, agitasi, dan juga boikot.
Satu hal yang perlu dicatat, di saat dikobarkan semangat untuk memerdekakan negeri akan muncul orang-orang yang merasa berjasa karena merasa mengeluarkan banyak harta dan tenaga. Misalnya, “Aku telah menghabiskan harta yang banyak” (QS. al-Balad/90: 6). Namun Allah membalas omong besar itu dengan firman-Nya, “Apakah dia mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang melihatnya?” (QS. al-Balad/90: 7). Padahal, tulis Wahbah al-Zuhaili, mereka berlaku boros mengeluarkan harta, semata-mata untuk memenuhi tradisi bodoh mereka, yakni bangga terhadap harta.
Pada ayat selajutnya, Allah memberi motivasi, “Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata, dan lidah dan sepasang bibir?” (QS. al-Balad/90: 8-9).
Kalimat ini, menurut Wahbah al-Zuhaili, bertujuan untuk mengingatkan berbagai kenikmatan yang Allah berikan. Secara fundamental kenikmatan itu adalah modal, yakni untuk melihat, merasa, dan beretorika.
Dalam bahasa Syaikh Nawawi, dengan lisan tersebut seseorang bisa bersilat lidah. Namun Allah tidak memanjakan umatnya. Allah memberikan alternatif, “Dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan).” (QS. al-Balad/90: 10).
Untuk bisa memerdekakan negeri seseorang harus menempuh jalan mendaki dan sulit, Namun, Allah berfirman, “Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sulit.” (QS. al-Balad/90: 11). Penyebabnya, dia tidak mau berusaha sekeras tenaga untuk melakukan kebaikan dan menanggalkan keburukan.
Sebab lain bisa karena ego sektoral di mana seseorang menginginkan suatu kemerdekaan pada masanya, oleh ormasnya, atau partainya. Bila usaha tersebut dilakukan kelompok lain, dianggapnya di luar garis kebijakan organisasi. Padahal kemerdekaan yang digerakkan oleh kelompok lain harus dimaknai sebagai kesuksesan bersama.
Oleh karena itu, penting dipertanyakan kembali untuk menjadi titik perhatian ikhwal jalan yang mendaki dan sulit itu. Allah SWT firmankan, “Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sulit itu?” (QS. al-Balad/90: 12). Pertanyaan retoris ini memberi informasi bahwa seseorang belum tahu cara untuk menempuh jalan itu.
Karena itu, Allah memberi tahu bahwa prasyarat untuk memerdekakan sebuah negeri, yakni pertama, “(Yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya).” (QS. al-Balad/90: 13). Dalam konteks kekinian hamba sahaya adalah mereka yang lemah dan dilemahkan, miskin dan dimiskinkan.
Hamba sahaya harus dimerdekakan dari perbudakan modern seperi budaya, ekonomi, politik, dan hegemoni otomotif dan elektronik. Untuk bisa merdeka, hamba sahaya harus berdaya, mandiri, dan unggul. Perkembangan otomotif dan elektronik harus direspons dengan mengimpor filosofinya bukan hanya membeli produk jadi dan menggunakannya secara hedonistik dan konsumtif.
Tak ada pilihan lagi: hamba sahaya budaya, hamba sahaya ekonomi, hamba sahaya politik harus dimerdekakan oleh yang berani menempuh jalan yang mendaki dan sulit. Caranya, dengan memaksimalkan “…Sepasang mata, lidah, dan sepasang bibir.” (QS. al-Balad/90: 8-9).
Tentang hal ini, Imam Muslim menuliskan sebuah hadits dari Barra Ibn Azib yang berkisah, “Seorang Arab pedalaman menemui Nabi SAW, lalu berujar, ‘Wahai Rasulullah, ajarkan aku satu perbuatan yang dapat memasukkan aku ke surga’. Nabi SAW menjawab, …merdekakan nasamah (budak) dan bebaskan raqabah (budak)!’ Orang itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, bukankah keduanya mempunyai satu makna?” Nabi SAW menjawab, ‘Tidak. Sesungguhnya memerdekakan nasamah adalah kamu sendiri yang memerdekakannya . Sedangkan membebaskan raqabah kamu membantunya untuk membebaskannya.”
Langkah selanjutnya adalah, “…. Memberi makan pada hari terjadi kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir.” (QS. al-Balad/90: 14-16). Dalam sebuah negeri di mana saja di dunia ini orang miskin adalah mayoritas yang bersuara tunggal, yakni mereka ingin dimerdekakan dari rasa lapar, malnutrisi dan kekurangan gizi, miskin, bodoh, dan tertinggal. Dalam bahasa agama mereka bisa dientaskan dengan sedekah orang kaya, baik sedekah wajib yang kemudian disebut dengan zakat, maupun sedekah sunah yang bisa berarti sedekah itu sendiri, infak, dan wakaf.
Terkait dengan ayat “Atau memberi makan pada hari terjadi
kelaparan.” (QS. al-Balad/90: 14) adalah dengan makanan yang disukainya, bukan sisa atau apkir.
Allah SWT tegaskan, “Dan mereka“Anak yatim yang ada hubungan kerabat memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin.“ (QS. al-Insan/76: 8). Tentang ayat memberi makan kepada,” QS. al-Balad/90: 15), Nabi SAW bersabda dalam hadits yang ditulis Imam Muslim, Imam Turmudzi, dan Imam Nasa’i, “(Pahala) sedekah kepada orang miskin adalah satu sedekah. Sedangkan kepada kerabat adalah dua sedekah, (yakni) sedekah dan silaturahim.”
Ayat 13-16 di atas adalah prasyarat memerdekakan sebuah negeri dengan sentuhan fisik. Sedangkan prasyarat memerdekakan sebuah negeri dengan sentuhan psikologis terekam dalam firman Allah SWT pada ayat 17-20.
Allah berfirman, “Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman, dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan. Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri. Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat.” (QS. al-Balad/90: 17-20).