REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat telah mengeluarkan Fatwa MUI tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial pada Ramadhan lalu, tepatnya pada 5 April 2017. Fatwa ini diharapkan dapat membendung maraknya kasus hukum berbasis media digital seperti fitnah, ujaran kebencian, perundungan, permusuhan, hoaks, persekusi, intimidasi, pornografi serta berbagai tindakan pelanggaran hukum dan etika.
Namun, sepertinya fatwa yang dikenal dengan fatwa medsosiyah ini belum diamalkan oleh masyarakat Indonesia karena hoaks masih terus menyebar di media sosial. Menanggapi hal itu, calon wakil presiden nomor urut 01, KH Ma'ruf Amin menjelaskan fatwa medsosiyah bersifat seruan.
Karena itu, jika seruan itu tidak mampu mencegah hoaks, maka harus ditindaklanjuti dengan penegakan hukum sesuai hukum yang berlaku. "Ya karena itu kan seruan moralnya sudah, sekarang seruan moral itu perlu ditindaklanjuti dengan law enforcement (penegakan hukum), harus ada tindakan," ujar Kiai Ma'ruf usai menghadiri acara penutupan Rapimnas IPPNU di Hotel Bintang, Cikini, Jakarta Pusat, Ahad (7/10).
Sebagai Ketua Umum MUI, Kiai Ma'ruf sudah berupaya mencegah maraknya hoaks di Indonesia melalui fatwa medsosiyah itu. "Saya kira memang kita pertama untuk pencegahan kita lakukan. Kalau tidak bisa dicegah, ya ditindak," ucap Kiai Ma'ruf.
Dia menambahkan, masyarakat yang menyebar atau membuat berita bohong itu salah satunya bisa ditindak dengan UU ITE. "Ya tindakannya sesuai dengan undang-undang, ITE dan lain sebagainya. Saya kira itu," kata Kiai Ma'ruf.
Dalam undang-undang ITE itu, ancaman hukuman bagi penyebar hoaks dijelaskan lebih rinci pada Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: "Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar."
Baca juga: MUI Terbitkan Fatwa Bahaya Hoaks