REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Fuji E Permana
Seorang pria berusia 42 tahun berdiri menatap bangunan yang runtuh akibat gempa bumi dan likuifaksi di Lorong MTS, Jalan Dewi Sartika, Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Dia heran dari mana datangnya lumpur (likuifaksi) dan bertanya-tanya mengapa tanahnya bergerak sampai puluhan meter.
Baca Juga:
Pieter Boeve (42 tahun), warga Petobo, mengungkapkan warga di sini sebenarnya sudah terbiasa dengan gempa bumi. Bahkan, warga sudah tahu tanda-tanda akan terjadinya gempa bumi.
Biasanya, kata dia, hewan-hewan seperti anjing dan kucing bersembunyi, suasana pun menjadi sunyi. "Sudah sering gempa bumi, binatang bersembunyi itu tanda-tanda akan terjadi gempa, burung saja berhenti berbunyi," kata Pieter sambil menatap reruntuhan bangunan akibat gempa dan likuifaksi.
Masih banyak orang-orang yang dia kenal termasuk kerabat yang tertimbun di lokasi terjadinya likuifaksi. Dia memperkirakan ada seratus lebih bangunan rumah yang terdampak gempa bumi dan likuifaksi.
Ada sekitar seribu warga tinggal di sana. Sementara sampai Jumat (5/10) tim SAR gabungan baru mengevakuasi 119 jenazah dari Petobo.
Rumah Pieter sangat dekat dengan lokasi terjadinya likuifaksi. Bahkan saat terjadi gempa bumi, rumahnya terguncang parah.
Tanah seperti ditekan ke bawah kemudian digoyang-goyang setelah itu tanah diangkat lagi ke atas. Saat terjadi gempa bumi, Pieter memeluk anaknya yang masih kecil. Beruntung keluarganya tidak tertimpa bangunan rumah.
"Susah berdiri saat gempa, jadi tidak bisa lari, kalau merangkak mungkin masih bisa tidak jatuh, jago taekwondo pun tak akan bisa berdiri saat gempa," ujarnya.
Kini Pieter dan keluarganya mengungsi di tenda yang tidak jauh dari rumahnya. Rumahnya retak dikhawatirkan akan roboh jika terjadi gempa bumi susulan.
Dia berharap bantuan untuk korban gempa bumi dan tsunami disalurkan secara merata dan tidak pilih-pilih, agar semua korban dapat terbantu.
Ulfah (53), warga Petobo lainnya di Jalan Dewi Sartika, mengaku menyaksikan tanah bergetar dan bergerak pada waktu magrib. Di sekitar tempat terjadinya likuifaksi, pagar-pagar yang terbuat dari tembok roboh dan bangunan rumah retak-retak.
"Terjadi gemuruh saat tanah bergerak (likuifaksi) orang-orang berhamburan, lari ke jalan, banyak yang kumpul di depan warung saya," ujar Ulfah sambil menahan rasa sedih yang nampak dari matanya yang berkaca-kaca.
Saat terjadi gempa bumi dan likuifaksi, Ulfah sedang berjualan di pinggir Jalan Dewi Sartika. Lokasi terjadinya likuifaksi sekitar 100 meter di seberang warungnya. Wilayah yang terdampak likuifaksi panjangnya sekitar dua kilometer, sementara lebarnya belum dapat dipastikan.
Ulfah terjatuh saat terjadi gempa bumi dan likuifaksi. Susah berdiri untuk lari keluar dari bangunan warung. Dengan susah payah dia merangkak berusaha keluar dari bangunan warung agar tidak tertimpa.
"Saya merangkak saat gempa bumi, terasa sangat lama merangkaknya, benar-benar gak bisa lari, hanya bisa merangkak," kata dia sambil menunjukan tangannya yang lebam akibat merangkak saat terjadi gempa bumi.
Setelah gempa bumi berlalu, warga berkumpul di depan warungnya yang masih utuh. Air bercampur lumpur membanjiri Jalan Dewi Sartika.
Orang-orang kehausan dan kelaparan karena lari menghindari gempa dengan tangan kosong. Ulfah merelakan minuman yang ada di warungnya untuk menghilangkan dahaga korban gempa bumi.
Setelah beberapa hari gempa bumi berlalu, lumpur mengering tersengat panasnya matahari. Kemudian diterpa angin sehingga membuat jalan berdebu. Pada Sabtu (6/10), Ulfah mulai membuka warungnya kembali dan melayani pembeli. Dia berharap duka gempa bumi dan tsunami segera berlalu.
Pada Sabtu (6/10), lima ekskavator dikerahkan tim SAR gabungan di lokasi terjadinya likuifaksi Petobo. Dua di antaranya digunakan untuk membuka jalur yang tertutup puing bangunan dan lumpur setinggi empat sampai lima meter.
Sementara tiga ekskavator lainnya digunakan untuk mencari korban yang tertimbun puing bangunan dan lumpur. Di sana tidak ada bangunan yang berdiri utuh, semuanya diterjang lumpur likuifaksi.
Likuifaksi atau pencairan tanah yang terjadi saat gempa mengguncang Kota Palu, Sulawesi Tengah, pada Jumat (28/9) merupakan fenomena baru bagi masyarakat Indonesia. Dalam berbagai video yang tersebar di media sosial, likuifaksi ditandai dengan bergeraknya bangunan di atas tanah seolah-olah terseret oleh lumpur, seperti yang terjadi di Kelurahan Petobo.
Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, kejadian likuifaksi di Kota Palu bukanlah yang pertama kali terjadi. Pada gempa bumi yang terjadi di Lombok, likuifaksi juga terjadi. Namun, skalanya lebih kecil.
"Tidak semua tempat yang terjadi gempa, terjadi juga likuifaksi. Di Lombok terjadi, tapi kecil. Tapi kalau kita melihat di Palu, likuifaksi yang terjadi begitu besar," kata dia saat konferensi pers di Graha BNPB, Senin (1/10).
Ia menjelaskan, terjadinya likuifaksi disebabkan oleh guncangan gempa. Kondisi material geologi yang ada di tanah juga ikut memengaruhi. Ketika guncangan terjadi, tanah menjadi cair karena material air yang tinggi.
Dalam volume air yang besar, kata dia, tanah menjadi gembur. Akibatnya, bangunan di atas tanah, perumahan, dan pohon, itu berjalan pelan-pelan sampai akhirnya ambles dan tertimbun oleh lumpur.
Dengan kata lain, likuifaksi merupakan proses keluarnya lumpur dari lapisan tanah akibat guncangan gempa dan menyebabkan lapisan tanah yang awalnya kompak, bercampur dengan air menjadi lumpur. Kekuatan tanah yang berkurang mengakibatkan bangunan di atasnya hancur.