Ahad 07 Oct 2018 21:10 WIB

Migrant Care Kritisi DPT Pekerja Migran di Luar Negeri

Belum semua pekerja migran di luar negeri masuk ke dalam daftar pemilih tetap.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Ketua Kelompok Kerja Pemilu Luar Negeri (Pokja PLN) Wajid Fauzi (tengah) bersama Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah (kanan) dan Mantan Buruh Migran Siti Badriyah (kiri) memberikan paparannya pada diskusi media di gedung Bawaslu, Jakarta, Ahad (7/10).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Ketua Kelompok Kerja Pemilu Luar Negeri (Pokja PLN) Wajid Fauzi (tengah) bersama Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah (kanan) dan Mantan Buruh Migran Siti Badriyah (kiri) memberikan paparannya pada diskusi media di gedung Bawaslu, Jakarta, Ahad (7/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Migrant Care menyoroti masalah belum sinkronnya daftar pemilih tetap (DPT) kelompok buruh migran di luar negeri. Migrant Care memandang DPT yang dimiliki Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) belum mampu merangkul semua pekerja migran.

Migrant Care merujuk pada data Laporan Pekerja Global Indonesia: Antara Peluang dan Risiko yang dirilis Bank Dunia mendapati 9 juta orang menjadi buruh migran pada 2016. Rinciannya, sekitar 32 persen bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau pengasuh anak, pekerja pertanian 19 persen, pekerja konstruksi 18 persen, pekerja pabrik 8 persen, perawat lansia 6 persen, pekerja toko/restoran/hotel, supir 2 persen, dan 0,5 persen pekerja kapal pesiar.

Jumlah itu jauh berbeda dengan data buruh migran pada Kemenlu yang ada di angka 2.049.791 orang. Angka itu didasari pada rekapitulasi DPT Luar Negeri pemilu 2019. Para pemilih itu tersebar dalam 130 Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di berbagai negara.

"Tidak mungkin hanya 2 juta. Diperkirakan buruh migran 9 juta. Yang sudah terdaftar 2 juta belum tentu aslinya segitu. Pemerintah hanya ada data yang terdaftar di KBRI, padahal aslinya jauh. Masalahnya karena kurang koordinasi data," kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah dalam diskusi di Kantor Bawaslu pada Ahad (7/10).

Ia menilai perbedaan data itu bukan berarti memunculkan penggelapan data. Menurutnya, perbedaan data tersebut lebih pada faktor pendataan belum maksimal.

Sebab, angka buruh migran terpantau selalu meningkat secara signifikan. Dari pendataan awal jumlah buruh migran ada dua juta. Lalu ketika didata lagi pada awal tahun 2000 jumlahnya jadi 4 juta. Kemudian jumlahnya terus bertambah lagi hingga 7 juta (2009) dan 9 juta (2016).

Ia menyebut data buruh migran mencakup mereka yang memiliki kelengkapan dokumen dan yang tidak memiliki kelengkapan dokumen. Ia menyarankan pemerintah lebih gigih dalam mendata buruh migran agar bisa menyalurkan hak politiknya. Khusus bagi buruh migran tak berdokumen, kata dia, pemerintah mesti memberi kemudahan supaya mereka mau mendaftar tanpa khawatir ditangkap pihak imigrasi.

"Harapannya masih perbaikan data Oktober semoga selesai dengan baik. Pemerintah harus gigih. Migran khawatir ditangkap atau ancaman. Harus ada perlakukan yang memudahkan mereka yang tak berdokumen," ujarnya.

Koordinator Kelompok Kerja Pemilu Luar Negeri Kemenlu, Wajid Fauzi menjelaskan, DPT Luar Negeri berasal dari data Kedutaan Besar dikompilasi dengan Kemenlu. Mulanya, data WNI diserahkan seluruh Kedutaan Besar pada Desember 2017 sebanyak 3.231.133 orang. Lalu, setelah diverifikasi dan perbaikan muncul lah angka DPT sebanyak 2.049.791 orang.

"Pendataan adalah masalah bersama. Data yang bagus akurat modal kinerja semua yang berurusan dengan pemilu. Harapannya kalau ada catatan data bisa jadi bandingan akan bagus biar akurat," tuturnya.

Wajid mencontohkan, ada dua kendala yang membuat pendataan DPT tidak efektif di luar negeri. Pertama, ada WNI yang memang tak ingin didaftarkan dalam DPT dengan alasan tertentu. Kedua, buruh migran di sektor rumah tangga kerap tak bisa memilih ketika pemilu karena dipersulit majikannya.

"Di beberapa wilayah kendala ketika WNI yang kerja di sektor rumah tangga mau daftar. Mereka tergantung majikan. Kalau baik majikannya ngantar buruh migran ke KBRI," ucapnya.

Masalah ketiga, kata Wajid ialah tingkat perpindahan WNI yang tinggal di luar negeri. Ia menyebut ada sebagian WNI yang intensitas tinggal di luar negerinya cukup panjang hingga menyulitkan pendataan.

"Sulit ada WNI ke luar negeri dan baliknya enggak lapor. Mutasi itu bisa bikin data ganda," sebutnya.

Di sisi lain, Tenaga Ahli Bawaslu Masykurudin Hafidz mengakui tantangan pendataan DPT luar negeri ialah memantau pergerakan buruh migran. Sebab, pergerakan mereka berpindah negara membuat pemerintah mesti teliti.

"Tantangan pemilih luar negeri itu pergerakan orangnya," ujarnya.

Ia mengusulkan penguatan sosialisasi dengan melibatkan media sosial. Sehingga proses pencarian identitas dan lokasi buruh migran lebih mudah ditemukan.

"Sebagian WNI disana ada medsos atau bisa identifikasi lewat grup medsos. Bisa disampaikan disitu," imbaunya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement