Senin 08 Oct 2018 14:37 WIB

Cita-Cita Anak Korban Gempa yang Ingin Jadi Tentara

Anak-anak korban gempa mulai diserang penyakit dan keletihan.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Teguh Firmansyah
Seorang anggota TNI menertibkan antrean korban gempa dan tsunami untuk mendapatkan bantuan di salah satu Posko di Palu, Sulawesi Tengah, Ahad (7/10).
Foto: Antara/Basri Marzuki
Seorang anggota TNI menertibkan antrean korban gempa dan tsunami untuk mendapatkan bantuan di salah satu Posko di Palu, Sulawesi Tengah, Ahad (7/10).

REPUBLIKA.CO.ID, SIGI -- Anak-anak berkumpul di pos kesehatan yang baru saja didirikan Dompet Dhuafa di Lapangan Bumi Jaya, Desa Lolu, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah pada Ahad (7/10) sore. Anak-anak terlihat batuk-batuk dan nampak lesu akibat sepekan lebih menginap di tenda pengungsian dan hanya memakan mi rebus.

Fadil Ifat masih berusia 11 tahun, sudah sepekan lebih tinggal di tenda pengungsian. Saat gempa bumi berkekuatan 7,4 skala richter mengguncang desanya, Fadil sedang main di rumah temannya. Seketika orang-orang di desa berhamburan ke luar rumah.

Fadil langsung lari ke pematang sawah sambil terpontang-panting dan jatuh beberapa kali. Saat itu ayahnya berada Kota Palu, sedangkan ibunya sedang berada di Kelurahan Petobo, Kota Palu. Bersama warga, Fadil menuju Kampung Buntina, Desa Pombewe, Kecamatan Biromaru untuk tinggal di tenda pengungsian milik warga.

Gempa bumi berkekuatan 7,4 skala richter mengguncang Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala pada Jumat (28/9) sore. Pada Sabtu, Fadil dapat bertemu ibunya. Kemudian hari selanjutnya bertemu ayahnya. Mereka semua selamat, kini mereka dapat berkumpul di tenda pengungsian.

Baca juga, BNPB: Warga Korban Gempa Sulteng akan Direlokasi.

Fadil mengaku punya impian ingin menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Impiannya pun didukung oleh semua keluarganya. "Cita-cita ingin jadi tentara karena tentara pagar negara, semua orang tua sudah setuju saya ingin jadi tentara," kata Fadil dengan wajah tegar.

Anak yang duduk di kelas 6 SD Inpres Desa Lolu itu mengaku masih takut gempa bumi, tapi tidak nampak kesedihan menghinggapi wajahnya yang polos. Dia mengaku tak ingin menjadi presiden dan pejabat lainnya dan hanya mau menjadi tentara supaya bisa menjadi pagar negara.

Farel Hidayat anak berusia 9 tahun yang sedang mengantre di pos kesehatan juga memiliki cita-cita yang sama dengan Fadil. Impiannya menjadi seorang tentara yang gagah dengan seragamnya.

"Ingin menjadi tentara, karena supaya setelah besar nanti bisa menjaga Indonesia," ujarnya dengan tegas.  Farel tetap tidak bisa menyembunyikan raut wajah lesunya akibat beberapa hari tinggal di tenda pengungsian.

Tiba-tiba Farel menyampaikan, ingin menjadi tentara supaya tidak ada teroris di Indonesia. Sebab teroris suka membunuh orang. Hal inilah yang mendasari cita-cita dan semangatnya menjadi seorang tentara untuk menjaga Indonesia.

Farel tinggal di Kampung Buntina, Desa Pombewe. Saat gempa bumi mengguncang desanya, dia sedang buang air besar di toilet. Entah bagaimana caranya, dia mengaku sempat bersih-bersih setelah buang air besar saat terjadi gempa bumi. Kemudian dengan cepatnya memakai celana sambil lari ke halaman rumah. Di halaman rumah dia bertemu ayah dan ibunya.

Anak-anak yang sedang diperiksa kesehatannya di pos kesehatan tidak hanya Fadil dan Farel. Ada Abdul Tolib, anak berusia 9 tahun yang duduk di bangku kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah Desa Pombewe.

Berbeda dengan dua temannya di pengungsian, Abdul ingin menjadi seorang polisi. Dia hanya ingin menjadi polisi, tidak mau menjadi tentara. "Cita-citanya ingin jadi polisi, supaya bisa menjaga masyarakat," kata dia sambil menyeka ingusnya akibat flu.

Hal serupa diungkapkan Permana Valentino Febriansyah yang masih berusia 8 tahun. Saat memperkenalkan diri, teman-temannya meneriaki Valentino karena namanya mirip seorang pembalap Motor GP Valentino Rossi. "Pembalap motor, pembalap motor, Valentino Rossi ha ha ha," kata teman-temannya di pos kesehatan Dompet Dhuafa. Anak-anak bercanda seperti melupakan derita bencana, meski sebenarnya mereka mengaku takut ada gempa lagi.

Valentino duduk di kelas 3 SD Inpres Desa Jono Oge, Kecamatan Biromaru. Dia mengatakan, ayah dan ibunya menyuruh dia menjadi seorang polisi. "Cita-cita ingin jadi polisi saja karena disuruh ayah dan ibu jadi polisi," ujarnya sambil menggenggam obat batuk dari pos kesehatan.

Saat terjadi gempa bumi, Valentino sedang mengaji di rumah seorang ustaz di desanya. Ketika gempa mulai terasa mengguncang, dia lari ke luar menuju rumah saudaranya di Desa Jono Oge. Dia tidak lari ke rumah ayahnya karena rumah orang ayahnya ada di Desa Lolu. Sementara, ibunya sudah meninggal dunia sebelum gempa terjadi.

Valentino sudah tinggal di tenda pengungsian selama sepekan lebih. Setiap hari makan mie rebus karena belum ada nasi. Selama sepekan tidur di tenda, Valentino mengaku cukup bisa tidur dengan nyenyak karena menggunakan selimut.

Anak-anak berkumpul di pos kesehatan yang baru saja didirikan Dompet Dhuafa di Lapangan Bumi Jaya, Desa Lolu, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah pada Ahad (7/10) sore. Anak-anak batuk-batuk dan nampak lesu akibat sepekan lebih menginap di tenda pengungsian dan hanya memakan mi rebus.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement