Selasa 09 Oct 2018 11:59 WIB

Nadia Murad Ingin Lawan Genosida dan Kekerasan Seksual

Nadia Murad yang merupakan mantan budak ISIS mendapat hadiah Nobel Perdamaian.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Nadia Murad, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2018.
Foto: Fredrik Hagen/NTB Scanpix via AP
Nadia Murad, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2018.

REPUBLIKA.CO.ID, STOCKHOLM -- Pemenang Hadiah Nobel bidang perdamaian Nadia Murad berharap seluruh dunia melawan genosida dan kekerasan seksual. Penyintas suku minoritas Yazidi ini merasa berkewajiban untuk menggunakan suaranya membela hak-hak orang yang dianiaya di seluruh dunia.

"Kita semua (seluruh dunia) harus berkerja sama untuk mengakhiri genosida, menahan orang yang melakukan kejahatan ini, dan memberikan keadilan bagi para korban," kata Murad di ruang National Press Room, Komite Nobel, di Swedia, Selasa (9/10).

Perempuan berusia 25 tahun ini menjadi salah satu dari ratusan perempuan dari suku minoritas Yazidi yang diculik dan dijadikan budak oleh ISIS pada 2014 lalu. Yazidi merupakan suku yang menjalankan agama leluhur mereka di beberapa desa kecil di sebelah utara Irak.

Murad mendapatkan hadiah Nobel bersama genekologis dari Kongo, Denis Mukwege yang membela perempuan korban kekerasan seksual selama perang di negara tersebut. Murad mengatakan ia merasa terhormat menerima hadiah Nobel. Tapi, tambahnya masih banyak yang harus dilakukan untuk membawa pelaku kejahatan terhadap suku minoritas Yazidi ke pengadilan.

"Sejauh ini kami belum melihat keadilan terjadi kepada Yazidi, terutama korban perbudakan seksual," kata Murad.

Ia ingin melihat para anggota teroris ISIS berada di pengadilan untuk bertanggungjawab atas kejahatan yang mereka lakukan. Pada 2016 lalu Murad menjadi Duta Martabat Korban Perdagangan Manusia PBB.

PBB mulai melakukan investigasi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan ISIS pada 2017 lalu. Mereka mulai mengumpulkan dan mengamankan bukti pada Agustus lalu. Proses pengadilan anggota teroris ISIS yang dilakukan oleh pasukan Irak dan Suriah seringkali dikritik organisasi hak asasi manusia.

Pengadilan tersebut dianggap terburu-buru, cacat, dan sering berdasarkan dari pengakuan yang diambil di bawah penyiksaan. Murad juga meminta pemerintah Irak dan masyarakat internasional untuk membangun kembali kota-kota Yazidi yang hancur karena perang melawan ISIS. Bantuan yang terlalu sedikit membuat sebagian besar wilayah Yazidi yang berhasil direbut kembali dari ISIS masih berupa reruntuhan.

Tingkat kehancuran yang tinggi dikombinasikan dengan jumlah pasukan keamanan yang tidak memadai di lapangan telah menyebabkan puluhan ribu Yezidis terjebak di pengungsian selama bertahun-tahun meski rumah mereka dinyatakan sudah dibebaskan dari ISIS. Murad menguraikan rencananya untuk fokus membangun kembali komunitas Yazidi di masa depan.

"Tapi tanpa perdamaian, bahkan jika kami membangun kembali, tidak mungkin bisa hidup," kata Murad.

Tema hadiah Nobel bidang perdamaian tahun ini berasal dari semakin kuatnya perhatian dunia terhadap perempuan korban kekerasan seksual yang didorong oleh gerakan #MeToo dari Amerika Serikat. Murad berharap semua penyintas kekerasan seksual bisa merasa aman untuk membagikan kisah mereka.

"Saya harap semua perempuan yang berbicara tentang pengalaman kekerasan seksual yang mereka alami dapat didengar dan diterima," ujarnya.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement