Selasa 09 Oct 2018 12:36 WIB

Perang Dagang AS-Cina Tekan Pasar Negara Berkembang

Pertumbuhan ekonomi global dinilai semakin rentan.

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Nur Aini
 Ekonom sekaligus Direktur Departemen Penelitian IMF, Maurice Obstfeld menyampaikan paparan World Economic Outlook 2018-2019 di Medan Room, Hotel Westin, Nusa Dua, Bali.
Foto: Mutia Ramadhani/Republika
Ekonom sekaligus Direktur Departemen Penelitian IMF, Maurice Obstfeld menyampaikan paparan World Economic Outlook 2018-2019 di Medan Room, Hotel Westin, Nusa Dua, Bali.

REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Konflik perdagangan Amerika Serikat (AS) dengan Cina membayangi pasar negara-negara berkembang yang pada akhirnya memicu gejolak mata uang.

Ekonom sekaligus Direktur Departemen Penelitian Dana Moneter Internasional (IMF), Maurice Obstfeld mengatakan lembaganya menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun depan dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen. Pertumbuhan global tahun ini juga stagnan di level 3,7 persen.

"Kondisi ini semakin parah apabila Cina memberlakukan tarif balasan jika AS terus menggandakan tarif impor baru," kata Obstfeld dalam pemaparan World Economic Outlook IMF di Medan Room, Hotel Westin, Nusa Dua, Selasa (9/10).
 
Obstfeld mengakui dampak perang dagang dua negara ekonomi terbesar dunia tersebut memengaruhi ekonomi negara berkembang, namun tak terlalu signifikan. Hal itu karena pembalikan tajam pasar di negara-negara berkembang justru akan menjadi ancaman besar bagi negara maju. "Namun demikian, kita tak dapat memungkiri bahwa ekonomi global kian rentan karena ini," ujarnya.
 
AS kemungkinan besar akan membatasi pertumbuhan impor dari luar, menyusul skema pemotongan pajak berakhir. Negara-negara berkembang, khususnya kaya sumber daya alam dan energi bernasib lebih baik mengingat harga minyak dunia terus meningkat.
IMF memperkirakan perang dagang ke depannya masih berlanjut, meski perjanjian dagang antara AS - Meksiko - Kanada dipandang positif.
 
Obstfeld menjelaskan perang dagang AS atas Cina ditambah ancaman tarif balasan dari Cina terhadap AS menurunkan kepercayaan bisnis kedua negara. Ini berarti kedua negara akan melakukan pengetatan keuangan dan pada akhirnya mengurangi investasi.
 
Jika skenario di atas terjadi, sebut Obstfeld, pendapat domestik bruto (PDB) global kemungkinan akan terjun hingga 0,8 persen pada 2020. Presiden AS, Donald Trump terus menggandakan tarif impor barang terhadap Cina hingga 267 miliar dolar AS. Trump memberlakukan impor mobil dan suku cadang dari Cina hingga 25 persen.
IMF memperkirakan ekonomi AS hanya bertumbuh 2,9 persen di akhir 2018 dan 2,5 persen pada 2019, sementara Cina 6,6 persen di akhir 2018 dan 6,2 persen pada 2019.
 
Pertumbuhan ekonomi ASEAN-5, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand akhir tahun ini masih sama seperti tahun lalu, yaitu 5,3 persen, sementara tahun depan diproyeksikan sedikit melandai menjadi 5,2 persen.
Di Asia, hanya India satu-satunya negara berkembang yang mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi positif. IMF memperkirakan ekonomi Negara Bollywood itu meningkat dari 6,7 persen pada 2017 menjadi 7,3 persen pada 2018, dan 7,4 persen pada 2019.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement