REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Bali menyatakan sikap penolakan terhadap segala bentuk kegiatan yang mengatasnamakan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia dan Bali khususnya. Ketua Umum MUI Bali Muhammad Taufik Asadi mengatakan, pihaknya mendapat informasi rencana kegiatan Grand Final Pemilihan Mister dan Miss Gaya Dewata 2018 yang akan diselenggarakan Yayasan Gaya Dewata pada 10 Oktober 2018.
"Ini jelas sangat memprihatinkan, sebab tindakan tersebut jelas bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama di Indonesia," kata Taufik secara tertulis kepada Republika.co.id, Selasa (9/10).
MUI Bali sebagai wadah seluruh umat Islam di Bali selama ini menjalankan kaidah agama dan konstitusi RI. Taufik mengatakan, perilaku LGBT adalah menyimpang dan bertentangan dengan moral juga agama.
Perilaku LGBT dalam Islam adalah dosa besar. Hukumnya ada beberapa pendapat. Pertama, pelaku dihukum dengan hukuman zina karena dianalogikan sama-sama melakukan hal yang haram. Ini adalah pendapat Hadawiyah dari jamaah dari kaum salaf dan khalaf, juga Imam Syafii.
Kedua, pelaku homoseksual dan yang homo itu dibunuh, baik keduanya itu muhshon atau sudah pernah menikah dan bersetubuh, atau ghairu muhshon (belum pernah menikah). Ini merupakan pendapat pendukung dan qaul qadim as-Syafii. Menurut sejumlah ayat Alquran dan hadis, tindakan dosa besar wajib dihindari dan pelaku-pelakunya perlu dijatuhi hukuman.
Perilaku LGBT, sebut Taufik, juga bertentangan dengan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini juga bertentangan dengan Pasal 28 dan 29 Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga, segala bentuk kegiatan bermuatan menyimpang merupakan perilaku inskontitusional.
"Untuk menghindari terjadinya hal-hal tak diinginkan, seperti adanya pembubaran paksa atau konflik horizontal antarkelompok masyarakat, MUI Bali memohon kepada pemerintah, khususnya Kepolisian Daerah (Polda) Bali untuk melarang, membatalkan, dan membubarkan kegiatan tersebut," kata Taufik.