Selasa 09 Oct 2018 17:00 WIB

Teguran Ulama untuk Umara

Pada ulama ada ilmu-ilmu Allah dan Rasul-Nya.

Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)
Foto: Wordpress.com
Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, OLEH MUHAMMAD MUSLIH AZIZ

Hari itu, Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan, seorang khalifah di masa bani Umayyah, berhasrat untuk menunaikan haji ke Baitullah al-Haram dan berziarah ke Maqbarah Nabi SAW yang mulia. Rombongan kekhalifahan ini pun bertolak dari Damaskus ke Madinah al-Munawarah. Setiap kali singgah di suatu tempat, mereka beristirahat dan sekaligus mengadakan majelis ilmu.

Setiba di Madinah al-Munawarah, Amirul Mukminin menuju tempat suci untuk memberi salam kepada penghuninya, Nabi Muhammad SAW. Dalam tafakur selepas shalat dua rakaat di Raudhah asy-Syarifah, beliau merasakan kesejukan, ketenangan, dan ketenteraman jiwa yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Ingin rasanya beliau memperpanjang waktu kunjungannya di kota Rasulullah itu seandainya ada waktu luang.

Bagi sang Khalifah, ada pemandangan yang berkesan dan menarik saat melewati di dalam Masjid Nabawi, yaitu banyaknya halaqah ilmu. Di sana berkumpul para ulama besar dan tokoh-tokoh tabiin, bagaikan bintang gemintang yang menaburi cahaya di sepenjuru langit. Ada halaqah Urwah bin Zubair, ada halaqah Sa'id bin Musayyab, dan ada halaqah Abdullah bin Utbah.

Suatu hari, Amirul Mukminin terbangun dari tidur siangnya dengan tiba-tiba. Lalu, dipanggilnya Maisarah, sang ajudan. Pergilah ke Masjid Nabawi dan undanglah salah satu ulama yang berada di sana untuk memberikan hadis dan peringatan kepada kita.

Maisarah bersegera menuju masjid. Dia melihat seluruh sudut-sudut masjid, tetapi ia tidak melihat kecuali satu halaqah yang dipimpin oleh seorang syekh yang telah tua. Usianya tampak sudah lebih dari 60 tahun, wajahnya kelihatan memancarkan kewibawaan seorang ulama.

Orang-orang tampak menaruh hormat dan takjub kepadanya. Sa'id bin Musayyib (lahir 15 H/636, wafat 94 H/715 M), seorang ahli hadis dan fikih dari kalangan tabiin Madinah. Maisarah menghampirinya hingga dekat lalu menunjukkan jarinya kepada syekh tersebut.

Akan tetapi, orang itu tak menghiraukannya sehingga Maisarah berkata dengan intonasi naik, Amirul Mukminin minta Anda sebagai ulama untuk datang mengajarkan hadis dan memberi ilmu kepada beliau.

"Aku bukanlah orang yang beliau maksud," sahut ulama terkemuka yang juga hampir saja menjadi besan dari Sang Khalifah ini. "Tetapi, beliau menginginkan seseorang untuk diajak bicara," balas Maisarah.

Barang siapa menghendaki sesuatu, seharusnya dialah yang datang. Di masjid ini ada ruangan yang luas jika dia menginginkan hal itu. Lagi pula, hadis lebih layak untuk didatangi, tetapi dia tidak mau mendatangi, tegur ulama yang selama lebih dari 40 tahun terjaga shalat berjamaahnya di shaf terdepan di Masjid Nabawi.

Akhir dari cerita ini, sang Khalifah pun akhirnya mendatangi sumber ilmu, ulama yang bernama Sa'id bin Musayyib. Masya Allah, umara diminta untuk datang ke pemilik kemuliaan, yaitu ulama. Bukan ulama mendatangi umara, apalagi ulama yang ingin masuk sekaligus dalam lingkaran umara.

Sungguh, ulama lebih layak bertempat di kemuliaan dan kehormatan yang tinggi. Karena padanya ada ilmu-ilmu Allah dan Rasul-Nya. Kita ingin transformasi ilmu dan keberkahan berjalan dengan seharusnya; lisan sang ulama didengar umara, dan umara menjalaninya bersama restu dan ridha dari ulama. Wallahua'lam.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement