REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perpindahan arah kiblat dari Masjid al-Aqsha ke Masjid al-Haram di Makkah, semakin menampakkan kejelasan antara orang-orang beriman dan orang-orang yang menunafik.
“Orang-orang yang kurang akalnya (Sufaha`) diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus". (QS Al-Baqarah [2]: 142).
Dalam Tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini : ''Yang dimaksud dengan sufaha` ialah kaum musyrik Arab, para pendeta Yahudi, dan seluruh kaum munafiq, sebab ayat itu bersifat umum. Dahulu Rasulullah SAW disuruh menghadap ke Baitul Maqdis. Di Makkah, beliau shalat di antara rukun Yamani dan rukun Syami sehingga Ka'bah berada dihadapannya, namun beliau menghadap ke Baitul Maqdis. Setelah beliau hijrah ke Madinah, semuanya keberatan untuk menyatukan keduanya. Maka Allah menyuruhnya menghadap ke Baitul Maqdis. Pandangan itu dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan jumhur ulama.
Kemudian mereka berselisih, apakah perintah itu melalui Alquran atau melalui yang lainnya? Para ulama terbagi atas dua pandangan. Ikrimah, Abu al-Aliyah, dan Hasan Bashri berpendapat bahwa menghadap Baitul Maqdis adalah hasil ijtihad Nabi saw.
Maksudnya ialah bahwa menghadap ke Baitul Maqdis dilakukan setelah Nabi saw tiba di Madinah. Hal itu berlangsung selama 10 bulan. Beliau banyak berdoa dan memohon kepada Allah agar disuruh menghadap ke Ka'bah yang merupakan kiblat Nabi Ibrahim AS. Maka Allah SWt mengabulkan doanya dan memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menghadap ke Ka'bah. Maka Nabi memberitahukan hal itu kepada Khalayak.
Shalat pertama yang menghadap Ka'bah adalah shalat ashar, sebagaimana hal ini dikemukakan dalam shahihain, dari hadis al-Barra` RA. (137), "Sesungguhnya Rasulullah saw shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama 16 bulan atau 17 bulan. Beliau merasa heran kalau kiblatnya adalah Baitul Maqdis, sebelum Ka'bah. Shalat pertama menghadap Ka'bah adalah shalat ashar. Beliau shalat bersama orang-orang.
Lalu, salah seorang jamaah keluar dari masjid dan menuju para penghuni masjid lainnya yang ternyata sedang ruku`. Dia berkata, Aku bersaksi dengan nama Allah, Aku benar-benar telah mendirikan shalat bersama Nabi saw sambil menghadap ke Makkah. Maka orang-orang pun berputar menghadap ke Baitullah". Menurut Nasa'i, shalat itu ialah shalat zuhur di masjid Bani Salamah.
Dalam hadis Nuwailah binti Muslim dikatakan, "Bahwa sampai kepada mereka berita mengenai peralihan kiblat ketika mereka tengah shalat zuhur. Nuwailah berkata, "Maka jamaah laki-laki bertukar tempat dengan jamaah perempuan (untuk menyesuaikan posisi)."
Namun berita itu baru sampai kepada penduduk Quba pada saat shalat fajar. Maka datanglah seorang utusan kepada mereka. Dia berkata, "Sesungguhnya pada malam ini telah diturunkan Alquran kepada Rasulullah saw. Allah menyuruh untuk menghadap Ka'bah, maka menghadaplah kamu kesana. Pada saat itu, wajah mereka menghadap ke Syiria. Maka mereka pun berputar menghadap Kabah.
Tatkala ini terjadi, timbullah keraguan pada sebagian kaum musyrik, munafiqin, dan ahli kitab. Bahkan, mereka melakukan penyimpangan dari petunjuk, membungkam dan meragukan kejadian tersebut.
Mereka berkata, "Apa yang telah memalingkan mereka dari kiblatnya yang dahulu dipegangnya?" Yakni, apa yang telah membuat mereka kadang-kadang berkiblat ke Baitul Maqdis dan kadang-kadang berkiblat ke Ka'bah?
"Katakanlah, Kepunyaan Allah-lah timur dan barat, yakni kepunyaan Allahlah segala persoalan itu, "Maka kemanapun kamu menghadap, maka disanalah wajah Allah." (QS Al-Baqarah [2]: 142).
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 177).
Ayat serupa juga terdapat dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 115.