REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koordinator Bidang Perekonimian tengah menyiapkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) terkait perdagangan niaga (e-commerce). Pembahasan yang telah dilakukan sejak 2015 ini belum juga bisa dirampungkan.
Sebagai pihak yang terkena dampak langsung dari regulasi tersebut, para pelaku industri pun mengaku tak kunjung mendapatkan naskah terbaru RPP e-commerce. Ketua Umum iDea, Ignatius Untung mengatakan, sebelum rancangan ini dijadikan sebuah peraturan pemerintah (PP) para pelaku usaha seharusnya bisa melihat isi poin yang nantinya akan menjadi aturan baku. Sebab, jika poin yang menjadi aturan tidak sesuai dengan kondisi pelaku usaha e-commerce, maka sektor ini belum tentu tumbuh sesuai target pemerintah.
“Sudah cukup lama sejak terakhir kami melihat draft RPP. Selepas itu, belum ada informasi terbaru terkait penjelasan dan solusi dari pemerintah terhadap poin-poin masukan kami diskusi yang dului”, ujar Iganitius, melalui siaran pers, Rabu (11/10).
Dia menilai, naskah RPP e-commerce seharusnya mampu mengakomodir masukan dari pelaku industri. Terlebih perusahaan e-commerce menjadi wadah bernaungnya jutaan pelaku usah kecil di seluruh Indonesia. Dengan demikian sudah seharusnya aturan yang ada bisa mengakomodir kegiatan jual beli melalui e-commerce.
"Regulasi itu harus mampu menaungi para pelaku industri dan menciptakan equal playing field bagi ekosistem perdagangan daring, termasuk pelaku industri, merchant, dan konsumen. Bukan sebaliknya, regulasi yang membatasi pertumbuhan industri.”
Menanggapi hal ini, Direktur Bina Usaha dan Pelaku Distribusi Kementerian Perdagangan I Gusti Ketut Astawa mengatakan pihaknya telah melakukan pembahasan antar kementerian setelah menerima masukan dari para pelaku industri. Namun, ia mengakui bahwa usai menerima masukan tersebut, Kemendag melakukan beberapa perubahan, walau hanya sebatas perubahan redaksional.
“Pada Mei (2018), mulailah kita bahas ulang tapi tidak mengubah. Tambahannya cuma dua poin penting. Satu terkait pemberdayaan (UMKM) dan registrasi (penjual di marketplace). Itu saja yang berubah total, yang lain-lainnya tidak terlalu banyak. Pembahasannya tidak substantif dan tidak mengubah banyak isi naskah,” ujar Astawa.
Perdagangan online di Indonesia saat ini memberikan potensi ekonomi makro yang signifikan. Dalam riset terbaru McKinsey, tercatat bahwa perdagangan daring telah menciptakan empat juta lapangan pekerjaan dan diperkirakan mencapai 26 juta pada 2022.
Dalam hal kesetaraan sosial, konsumen di luar Jawa bisa mendapatkan pilihan produk yang lebih murah dan beragam lewat e-commerce, juga turut mendorong tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja. Usaha yang dikelola perempuan akan berkontribusi setidaknya sebesar 35 persen pada 2022.