REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muslim pernah berjaya selama berabad-abad di negara kepulauan ini. Pada 870 hingga 1091 Masehi, Mdina menjadi pusat ibu kota pemerintah Muslim di Malta.
Islam datang ketika Dinasti Aghlabids Afrika Utara datang. Islam dibawa oleh Halaf al-Hadim dan kemudian Sawada ibnu Muhammad menaklukkan pulau-pulau di Bizantium, setelah tiba di Sisilia pada 870 M.
Namun, terjadi perdebatan pertama kali Islam menduduki pulau tersebut antara abad ketujuh, delapan, atau sembilan. Setelah menduduki pulau tersebut, Aghlabids mendirikan ibu kota di Mdina. Mereka membangun benteng romawi kuno yang kini dikenal dengan Benteng Santo Angelo.
Menurut penulis sejarah dan ahli geografi Arab, Muhammad bin Abd al-Munim al-Himyari, penulis kitab al-Rawd al-Mitar, setelah serangan dan penaklukan Muslim, Malta tidak berpenghuni. Kemudian, pulau ini dianeksasi umat Islam dari Sisilia pada 1048 hingga 1049.
Kepemimpinan umat Muslim tidak berlangsung lama. Malta kembali direbut pemerintah Kristen saat penaklukan Norman pada 1127 M. Meskipun berada di pemerin tahaan Kristen, mereka tetap dipimpin oleh orang Arab.
Umat Islam yang berada di Malta tetap diizinkan beribadah sesuai agamanya hingga abad ke-13. Ini merupakan keuntungan bagi umat Islam. Secara demografis dan ekonomi mereka dapat mendominasi Malta hingga 150 tahun setelah penaklukan Kristen.
Pada 1122 M, Muslim melakukan perjuangan untuk merdeka tetapi pada 1127 Roger II dari Sisilia merebut kembali Kepulauan Malta. Malta dikuasai oleh Charles dari Anjou, saudara Raja Louis IX dari Prancis. Namun, dia memiliki intoleransi terhadap agama kecuali Katolik Roma. Meskipun demikian, hubungan Malta dengan Afrika tetap kuat sampai awal pemerintahan Spanyol pada 1283.
Pada akhir abad ke-15, semua Muslim Malta dipaksa masuk Kristen. Mereka harus menyamarkan identitas jika tidak ingin dipaksa. Ibnu Khaldun menulis bahwa Islam di Malta diusir pada 1249. Profesor Godfrey Wettinger juga menguatkan bahwa tahun tersebut tak satu pun Muslim Malta yang bebas hidup di sana, bahkan mereka menjadi budak.
Pada 1530 hingga 1798, Malta dikuasai oleh Knights Hospitaller. Pada masa ini ribuan budak Muslim ditangkap sebagai tawanan perang maritim dan dibawa ke Malta. Pada abad ke-18, 9.000 budak dibebaskan.
Mereka diizinkan berkumpul untuk beribadah sebagai Muslim. Namun, mereka dilarang berinteraksi dengan penduduk Malta secara rutin. Budak yang telah dibebaskan bekerja sebagai pedagang.
Sebuah masjid dibangun pada 1702 selama pemerintahan St John. Masjid ini khusus digunakan untuk budak asal Turki. Masjid ini berada di sebuah bangunan penjara yang tidak merusak bangunan konstruksinya dan bertahan hingga saat ini. Budak Muslim pernah berusaha melakukan konspirasi pada 1749, tetapi digagalkan.
Akibatnya, mereka harus menghadapi pengawasan dan aturan yang lebih ketat. Mereka tidak bisa pergi keluar batas kota dan tidak boleh mendekati benteng. Mereka juga dilarang berkumpul, kecuali di dalam masjid. Mereka hanya boleh tidur di penjara budak. Selain itu, mereka dilarang membawa senjata atau kunci bangunan pemerintah.
Dalam kondisi seperti ini, upaya distorsi sejarah Malta pernah dilakukan. Menghilangkan historis Muslim dan hubungan Malta dengan Afrika. Sehingga, menciptakan Islamofobia di Malta seperti negara Eropa Selatan lainnya hingga abad ke- 20.