Kamis 11 Oct 2018 06:09 WIB

Pengemudi Jak-Lingko Tuntut Kesejahteraan

Korlap trayek OK17 mengaku belum ada instruksi penggantian OK-OTrip dengan Jak-Lingko

Rep: Sri Handayani/ Red: Bilal Ramadhan
Mobil angkutan umum jurusan Kampung Melayu- Duren Sawit  berstiker Ok Otrip di terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, Selasa (2/10).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Mobil angkutan umum jurusan Kampung Melayu- Duren Sawit berstiker Ok Otrip di terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, Selasa (2/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua hari lalu, Gubernur DKI Jakarta mengklaim uji coba program One Karcis One Trip (OK-OTrip) telah berjalan dengan baik. Sebagai tindak lanjut, dilakukan pergantian nama dari OK-Otrip menjadi Jak-Lingko.

Bagi John, pengemudi trayek OK33 jurusan Pulogadung-Kota, penggantian nama tak terlalu berdampak bagi kehidupan para pengemudi. Peningkatan kesejahteraan pengemudi lebih diharapkan daripada sekadar pergantian nama. Angkutan trayek OK33 jurusan Pulogadung-Kota ini memang menjadi trayek percontohan untuk Jak-Lingko.

"Kalau pergantian nama itu saya enggak terlalu pikirkan," kata John kepada Republika saat ditemui di Terminal Pulogadung, Jakarta Timur, Rabu (10/10).

John menceritakan, PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) dan Koperasi Budi Luhur sebagai operator trayek menjanjikan gaji sesuai Upah Minimum Regional (UMR), yakni Rp 3,6 juta. Pada kenyatannya, jumlah yang diterima pengemudi setiap bulan tak sesuai.

Para pengemudi merasa diperlakukan seperti pekerja harian lepas (PHL). Mereka dibayar Rp 120 ribu per hari. Artinya, untuk mencapai gaji Rp 3,6 juta, mereka harus bekerja penuh selama 30 hari.

Sebagian gaji diberikan dalam bentuk uang makan sebesar Rp 50 ribu per hari. Sisanya 'ditabung' untuk dibayarkan pada tanggal yang telah ditetapkan. Namun, pada kenyataannya pembayaran gaji sering kali terlambat. Bahkan, gaji dibayarkan sebulan dua kali.

Koordinator Lapangan (Korlap) Trayek OK17 Pulogadung-Senen, Eko, mengakui keterlambatan gaji menjadi masalah tersendiri. Para pengemudi terkadang memilih mogok jika gaji belum dibayarkan pada tanggal yang ditentukan. Akibatnya, layanan transportasi menjadi terganggu.

"Kasihan sopir. Telat dua-tiga hari mereka kadang mogok narik," ujar Eko.

Eko menceritakan, ada dua trayek yang kini menjalankan program OK-Otrip, yang kemudian diganti nama menjadi Jak-Lingko. Keduanya yaitu trayek OK33 Pulogadung-Kota dan trayek OK 17 Pulogadung-Senen.

Trayek OK17 menjalankan 21 armada dengan 42 pengemudi, sementara trayek OK33 menjalankan 17 armada dengan 34 pengemudi. Para pengemudi bekerja dalam dua shift yaitu shift pertama dari pukul 05.00 WIB hingga 14.00 WIB. Shift selanjutnya dari pukul 14.00 WIB hingga 22.00 WIB.

Pengamatan Republika di lapangan menunjukkan, armada-armada yang ada masih menggunakan OK-Otrip. Menurut Eko, stiker ini akan diganti secara bertahap. Namun, ia mengaku hingga saat ini belum ada instruksi untuk melakukan penggantian stiker OK-Otrip menjadi Jak-Lingko.

Eko juga belum mendapatkan informasi kapan uji coba OK-Otrip akan berakhir. Pasalnya, uji coba yang awalnya hanya akan dilakukan selama tiga bulan terlah diperpanjang sebanyak dua kali. Hingga saat ini, uji coba sudah berlangsung delapan bulan.

Mesin tap, kata Eko, menjadi salah satu kendala yang hingga kini belum terselesaikan. Didukung keterangan dari pengatur waktu trayek OK33, Ahmad Faturohman, diketahui OK-Otrip yang dijalankan di Pulogadung menggunakan dua jenis mesin tap.

Mesin tap pertama berkode STI. Alat ini masih memanfaatkan jaringan 3G yang kurang stabil, sehingga sering menyebabkan eror. Eror juga terjadi ketika kuota internet di dalamnya habis. Perawatan mesin ini masih dilakukan dengan mengandalkan para teknisi dari PT Transjakarta. Artinya, ketika terjadi eror dalam perjalanan, mereka harus kembali ke terminal dan menemui teknisi agar mesin dapat berjalan kembali.

"Kita enggak bisa sembarangan bawa ini ke bengkel, harus sama mekanik. Pokoknya kalau sudah error, driver enggak berani kutak-katik lah," ujar pengemudi, Candra.

Mesin tap lain yang berkode CSI cenderung lebih stabil. Kendati demikian, waktu tapping masih dinilai terlalu lama. Saat kondisi normal, waktu tap hanya sekitar lima detik. Namun, saat terjadi eror dibutuhkan waktu hingga satu menit agar tapping selesai.

Sebagian pengemudi menganggap hal ini masalah, terutama ketika berada di gang sempit. Waktu tap yang lama membuat angkutan berhenti lebih lama, sehingga dapat menimbulkan kemacetan.

Namun, bagi Candra hal ini tidak menjadi masalah selama masa uji coba. Pasalnya, para penumpang belum ditarik biaya. Jika terjadi error, Candra biasanya tetap membawa penumpang tanpa melakukan tapping. Masalah akan terjadi ketika masa uji coba habis dan mesin tap tidak diganti atau diperbaiki.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement