Kamis 11 Oct 2018 05:37 WIB

Penjelasan Pemerintah Soal Ditundanya Kenaikan Harga Premium

Presiden Jokowi memutuskan untuk menunda kenaikan harga premium.

Petugas mengisi premium ke dalam sepeda motor di salah satu SPBU di Jakarta, Rabu (10/10). Pemerintah memutuskan untuk menunda rencana kenaikan BBM jenis premium sembari menunggu kesiapan dari Pertamina untuk menjalankan kebijakan tersebut.
Foto: Akbar Nugroho Gumay/Antara
Petugas mengisi premium ke dalam sepeda motor di salah satu SPBU di Jakarta, Rabu (10/10). Pemerintah memutuskan untuk menunda rencana kenaikan BBM jenis premium sembari menunggu kesiapan dari Pertamina untuk menjalankan kebijakan tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ahmad Fikri Noor, Sapto Andika Candra

Pemerintah memutuskan untuk membatalkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) Premium. Penundaan diputuskan hanya berselang sekitar 45 menit setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengumumkan kenaikan harga Premium.

Baru kali ini pernyataan Menteri ESDM soal kenaikan harga premium dicabut kembali dengan alasan sesuai arahan Presiden Joko Widodo dan Pertamina belum siap. Apa sebenarnya yang terjadi di Bali?

Kenaikan harga Premium diumumkan Jonan dalam konferensi pers di area lobi Sofitel, Nusa Dua, Bali, sekitar pukul 17.30 WITA, Rabu (10/10), di sela-sela Pertemuan Tahunan IMF-World Bank 2018. Sebelumnya, pada Rabu menjelang siang, pemerintah mengumumkan akan menaikkan harga BBM nonsubsidi jenis Pertamax dkk.

Dalam keterangannya kepada awak media pada Rabu sore Jonan menyampaikan, harga Premium di wilayah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) naik dari Rp 6.650 per liter menjadi Rp 7.000 per liter. Sementara, Premium di luar Jamali naik dari Rp 6.450 menjadi Rp 6.900 per liter.

"Pemerintah mempertimbangkan sesuai arahan Presiden (Joko Widodo) bahwa Premium, Premium saja, ya, mulai hari ini, jam 18.00 WIB, disesuaikan harganya," kata Jonan. 

Jonan mengatakan, penyesuaian itu berlaku di 2.500 SPBU Pertamina yang menjual Premium di seluruh Indonesia.

Tidak lama berselang, Jonan menyebarkan pesan singkat kepada media bahwa ada penundaan kenaikan harga. Dia menyebutkan, Presiden Jokowi mengarahkan agar rencana kenaikan harga Premium di Jamali dan luar Jamali ditunda. 

"Ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan PT Pertamina," ujar Jonan melalui keterangan resmi yang diterima Republika, Rabu (10/10) petang.

Dalam konferensi pers kenaikan harga Premium, Jonan mengatakan kenaikan harga hanya sekitar 7 persen dari harga sebelumnya. Menurut dia, kenaikan itu lebih kecil dibandingkan kenaikan harga minyak dunia saat ini sudah mencapai 25 persen. 

"Mohon ada pengertian masyarakat, ini penyesuaiannya 7 persen, tidak disesuaikan sampai 25 persen karena mempertimbangkan daya beli," kata dia.

Jonan juga sempat berujar bahwa kenaikan harga Premium tidak akan berdampak pada harga bahan pokok. Sebab, harga bahan pokok akan lebih terpengaruh apabila harga solar yang dinaikkan. 

"Karena truk, bus besar, kereta api pakai solar, kapal laut gunakan solar," kata mantan menteri perhubungan ini.

Kabar kenaikan harga Premium yang disusul dengan berita penundaan kenaikannya menjadi hangat di media sosial. Publik menyoroti bagaimana koordinasi antarmenteri di dalam pemerintah terkait kebijakan ini. 

Tidak lama setelah pesan singkat dari Jonan, giliran Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) buka suara soal penundaan kenaikan harga Premium kepada pers di Bali. Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno berdalih baru mengetahui kenaikan harga Premium dari konferensi pers yang dilakukan Menteri ESDM Ignasius Jonan.

"Dan kemudian sudah langsung kami tanyakan kepada Bu Menteri BUMN (Rini Soemarno) apakah ini bisa dilakukan atau tidak," ujarnya di Indonesia Pavilion, Nusa Dua, Rabu.

Fajar mengatakan, keputusan untuk mempertimbangkan kembali rencana kenaikan Premium dilatari oleh kebijakan kenaikan BBM nonsubsidi yang sudah diumumkan sebelumnya. Fajar berkelit dengan mengatakan Pertamina belum siap apabila harus menaikkan BBM subsidi dan nonsubsidi sekaligus dalam satu waktu.

Fajar menjelaskan, dalam memutuskan kenaikan harga BBM nonsubsidi perlu melihat lagi Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. 

Beleid tersebut menyebutkan, ada tiga syarat yang menjadi landasan apakah harga BBM naik atau tidak. Ketiga hal tersebut adalah kondisi keuangan negara, kemampuan daya beli masyarakat, dan kondisi riil ekonomi.

Untuk memutuskan kenaikan BBM pun, lanjutnya, dibutuhkan rapat koordinasi lintas kementerian ekonomi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. Rakor juga diikuti oleh menteri terkait, seperti menteri keuangan dan menteri ESDM. 

"Kami belum belum tahu (soal koordinasi), kami tahunya dari pengumuman Pak Jonan. Menurut Bu Menteri belum (diajak koordinasi oleh Menteri ESDM)," kata Fajar.

Fajar sendiri enggan menanggapi soal wujud koordinasi yang dilakukan antarkementerian. Menurut dia, Menteri ESDM sudah menghubungi Menteri BUMN dan menyampaikan bahwa Presiden Jokowi meminta adanya penundaan kenaikan Premium.

Kementerian BUMN, lanjutnya, melihat naik atau tidaknya BBM dari sisi korporasi. Fajar menyebutkan, ada pertimbangan-pertimbangan berupa pendapatan Pertamina hingga implikasi di tengah masyarakat akibat kenaikan harga BBM yang perlu dipikirkan.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement