REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan berbagai insentif untuk mendorong instrumen keuangan syariah terus berkembang. Menurut Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida, perkembangan ekonomi syariah bila dibandingkan dengan konvensional perannya masih belum besar.
Malahan, kata Nurhaida, porsi perbankan syariah di Indonesia hanya 8 persen. "Makanya kami terus mendorong agar instrumen yang ada perlu diperbanyak, kemudian hal-hal yang bisa membuat islamic finance menarik harus ditingkatkan. Contohnya, dikasih beberapa kemudahan baik di perbankan maupun pasar modal," ujarnya di Bali International Convention Center, Nusa Dua, Bali, Rabu (10/10).
Insentif untuk di pasar modal yakni untuk penerbitan sukuk diberikan pungutan yang lebih rendah, dibandingkan konvensional. Insentif selanjutnya terkait perpajakan. Ia menjelaskan, selama ini instrumen syariah dan konvensional memiliki perbedaan dalam perpajakan.
Untuk meningkatkan penerbitan sukuk terutama sukuk korporasi dan juga investasi sukuk, OJK mendorong pemerintah untuk menetapkan kebijakan pajak yang jelas untuk sukuk, levy deduction, serta mengadakan event untuk market players guna meningkatkan awareness dari pasar sukuk.
"Ini yang sedang kita dorong juga. Supaya ada perlakuan perpajakan yang lebih fair. Lebih memberikan kemudahan atau insentif supaya lebih menarik," jelasnya.
Total keseluruhan pasar ekonomi syariah di Indonesia baru mencapai sekitar 83 miliar dolar AS, dengan porsi terbesar adalah pasar modal sebesar 40 miliar dolar AS. Sedangkan aset industri keuangan syariah global yakni sebesar 2200 miliar dolar AS.
Sukuk merupakan penyumbang investasi terbesar, utamanya dari investor global. Untuk itu perlu didorong pertumbuhannya, khususnya untuk pembiayaan infrastruktur.
"Kalau dari 2200 miliar dolar AS menjadi bagian dari pembiayaan infrastruktur kita, itu akan besar sekali. Sukuk harus didorong, karena sukuk begitu diterbitkan subscriber atau yang membeli sukuk bisa lokal dan global, akan menarik investor global," katanya.