REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Pemerintah Qatar menjanjikan bantuan dana sebesar 150 juta dolar AS untuk Gaza. Dana tersebut telah dijanjikan melalui Qatar Development Fund.
"Di bawah arahan dari Emir Qatar Yang Mulia Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani, Qatar Development Fund telah menjanjikan 150 juta dolar AS bantuan kemanusiaan untuk meringankan krisis kemanusiaan di Jalur Gaza yang terblokade," kata Kementerian Luar Negeri Qatar pada Rabu (10/10), diikutip laman Al Araby.
Kementerian Luar Negeri Qatar mengatakan United Nations Development Fund akan mengawasi penyaluran dana bantuan tersebut. Pada Selasa (9/10), Qatar juga telah mengirim bantuan bahan bakar minyak untuk Gaza. PBB memperkirakan nilai sumbangan awal bahan bakar dari Qatar mencapai 60 juta dolar AS.
Qatar diketahui telah menyalurkan miliaran dolar dana bantuan kemanusiaan ke Gaza. Hal itu sangat diapresiasi PBB karena Gaza memang tengah menghadapi salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Selama lebih dari 10 tahun diblokade Israel, kondisi masyarakat Gaza, baik secara ekonomi maupun kesehatan, sangat mengkhawatirkan. Hal itu diperparah dengan konflik yang masih sering terjadi di wilayah tersebut.
Menurut Bank Dunia, kemerosotan ekonomi di Gaza tak dapat lagi ditopang dengan aliran bantuan asing yang telah menurun secara stabil. Sektor swasta juga tak bisa memberikan kontribusi karena adanya pembatasan pergerakan terhadap akses pasar dan bahan-bahan utama.
"Situasi ekonomi dan sosial di Gaza telah menurun selama lebih dari satu dekade tetapi telah memburuk secara eksponensial dalam beberapa bulan terakhir dan telah mencapai titik kritis," ujar Direktur Bank Dunia untuk Tepi Barat dan Jalur Gaza Marina Wes.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan blokade Israel telah menjadi hambatan utama terhadap akses kesehatan di Jalur Gaza. Hal itu diungkap WHO dalam laporan tahunannya yang berjudul “Right to Health: Crossing Barriers to Access Health in the Occupied Palestinian Tereitory 2017”.
Kepala WHO di wilayah Palestina yang diduduki Gerald Rockenschaub mengatakan laporan tersebut menguraikan cukup detail tentang hambatan utama yang dihadapi warga Palestina untuk mendapatkan akses atau pelayanan kesehatan yang merupakan hak fundamental. Hambatan tersebut termasuk perihal izin yang diberikan otoritas Israel terhadap pasien-pasien di Gaza untuk dirujuk ke rumah sakit di luar wilayah tersebut.
“Kami telah melihat tingkat persetujuan terendah pada catatan untuk pasien di Gaza yang membutuhkan akses ke rumah sakit di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Israel. Tahun ini kami juga menyaksikan sejumlah besar serangan terhadap staf kesehatan, ambulans, dan fasilitas lain,” kata Rockenschaub.
Koordinator Kemanusiaan dan Penduduk PBB untuk wilayah Palestina yang diduduki Jamie McGoldrick mengatakan, ketatnya perizinan yang diberikan Israel terhadap warga Palestina yang membutuhkan pelayanan kesehatan di luar Gaza memiliki konsekuensi serius. “Sekelompok pasien yang sangat rentan membutuhkan perawatan khusus dan spesialis tidak tersedia di Gaza atau Tepi Barat atau di Yerusalem Timur,” katanya.
Ia menjelaskan sepertiga dari pasien di Gaza perlu dirujuk untuk perawatan kanker. “Sepertiga dari pasien ini adalah anak-anak dan anak muda berusia 19 tahun,” ujar McGoldrick.