Kamis 11 Oct 2018 19:59 WIB

Kemendikbud Diminta Sosialisasikan Aturan Sekolah Darurat

Kemendikbud menyebutkan sekolah rusak di Lombok sebanyak 770 dan di Sulteng 2.736

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Sejumlah siswa belajar di tenda sekolah darurat di SDN 1 Guntur Macan Desa Guntur Macan, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, NTB, Jumat (28/9).
Foto: Antara/Ahmad Subaidi
Sejumlah siswa belajar di tenda sekolah darurat di SDN 1 Guntur Macan Desa Guntur Macan, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, NTB, Jumat (28/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Lembaga Perlindungan Anak Generasi, Ena Nurjanah, menuturkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus segera melakukan sosialisasi terhadap Permendikbud 72/2013 secara masif ke seluruh dinas pendidikan di setiap daerah. Hal ini untuk bisa menjawab kondisi Indonesia sebagai negara yang rawan bencana.

"Sehingga tidak ada lagi kegagapan dalam penyelenggaraan sekolah darurat yang merupakan hak pendidikan bagi anak yang berada di daerah bencana," ujar dia dalam keterangan pers, Kamis (11/10).

Ena mengatakan kondisi bencana memberikan dampak yang berat bagi setiap orang. Adapun pihak yang paling rentan terhadap bencana adalah anak-anak.

Dibandingkan orang dewasa, anak-anak paling terpapar dengan kondisi kebencanaan. Hal ini karena kehidupan anak-anak masih bergantung sepenuhnya dengan orang tua.

"Kemudian kondisi fisik yang lemah dalam masa pertumbuhan membuatnya harus menghadapi beban yang lebih berat dibandingkan orang dewasa, baik dari segi kesehatan fisik dan mental," ujarnya.

Ena mengungkapkan, berdasarkan data dari Kemendikbud tercatat sebanyak 770 sekolah di Lombok dan 2.736 sekolah di Sulawesi tengah rusak pasca gempa dan tsunami. Proses perbaikan dan rehabilitasi sekolah rusak tersebut membutuhkan waktu minimal setahun.

"Dalam kondisi darurat, sekolah harus tetap bisa diupayakan demi terpenuhinya hak pendidikan anak-anak korban bencana. Respon cepat Kemendikbud dengan mendirikan tenda-tenda sebagai sekolah darurat cukup patut diapresiasi," katanya.

Namun, ia menjelaskan, sekolah darurat ini seperti berjalan dengan segala keterbatasan dan kedaruratan yang kurang diantisipasi sebelumnya sehingga terlihat sangat minim kesiapan dalam penyelenggaraannya.

Menurutnya, kurikulum sekolah darurat sebenarnya hal ini sudah tertuang dalam permendikbud Nomor 72 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus. Permendikbud 72/2013 Bab I Pasal 1 menjelaskan bahwa Pendidikan layanan Khusus (PLK) adalah pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan yang tidak mampu dari segi ekonomi.

"Sekolah darurat merupakan satuan pendidikan formal yang didirikan pada saat situasi bencana alam dan/atau bencana sosial yang bersifat sementara," ujarnya.

Dalam Pasal 7-10 dijelaskan, paparnya, lebih lanjut tentang penggunaan kurikulum nasional bagi sekolah darurat dengan tetap memperhatikan kesesuaian terhadap kebutuhan setempat. Waktu belajar sekolah darurat lebih fleksibel sesuai kesepakatan bersama antara penyelenggara, pendidik dan peseta didik. Kemudian juga tempat belajar disesuaikan dengan ketersediaan dan kelayakan.

Dalam permendikbud tersebut termuat dengan jelas bagaimana seharusnya penyelenggaraaan sekolah darurat. Hanya saja permendikbud ini nampaknya kurang tersosialisasikan dengan baik di tingkat daerah. Sehingga pengimplementasian sekolah darurat di daerah seringkali masih perlu arahan dari pusat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement