Jumat 12 Oct 2018 05:30 WIB

Ini Kata Ahli dari Amerika Soal Mengapa Orang Percaya Hoaks

Bias personal atau subjektivitas dapat mendorong orang percaya dan sebar hoaks.

Hoax. Ilustrasi
Foto: ABC News
Hoax. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bias personal atau subjektivitas dapat mendorong seseorang untuk mempercayai, bahkan menyebarkan hoaks. Ketika seseorang menyukai sesuatu maka otak kita akan cenderung menolak informasi yang mengatakan bahwa hal itu tidak benar.

"Otak kita memiliki yang namanya bias konfirmasi (confirmation bias). Ketika kita menyukai atau mempercayai sesuatu, otak kita akan cenderung menolak informasi yang mengatakan bahwa hal itu tidak benar atau salah," kata ahli jurnalistik Margaret Farley, pada diskusi bertajuk "Fake News: How to Know What to Believe" di @america Pacific Place Jakarta, Kamis (11/10).

Baca Juga

Dosen di Fakultas Jurnalistik American University itu mengatakan, sebagai penerima informasi, masyarakat juga harus menyadari adanya subjektivitas atau bias tersebut. Dengan demikian, akan muncul kemampuan untuk membedakan berita bohong dengan fakta.

"Para pembuat hoaks sangat memahami cara otak kita bekerja," kata perempuan yang akrab disapa Maggie itu.

Secara alamiah, ia mengatakan, orang sering tertarik pada berita-berita yang membuat dirinya bereaksi. Itulah mengapa kebanyakan berita bohong menggunakan judul-judul yang mencengangkan. 

"Mereka memang dengan sengaja menarget subjektivitas kita," kata dia.

Sementara itu, pengajar dari Universitas Media Nusantara Ignasisus Hariyanto menyoroti pentingnya memiliki pemikiran yang terbuka, ketimbang hanya mempercayai apa yang seseorang inginkan saja.Sebagai contoh, kata dia, pada masa kampanye pemilihan umum presiden, Ignasius tak pernah memutuskan pertemanan di media sosial dengan rekan-rekannya yang memiliki pandangan politik yang berbeda.

"Saya mencoba untuk membiasakan mendengar suara lain, supaya bisa mulai belajar untuk tidak hanya meyakini apa yang mau saya yakini. Saya mau dengarkan apa yang orang lain katakan," kata Ignasius.

Menurutnya, hal tersebut mencerminkan praktik demokrasi yang baik, di mana Indonesia telah dikenal sebagai negara demokrasi, bahkan oleh seluruh dunia.

Acara diskusi bertajuk "Fake News: How to Know What to Believe" juga menghadirkan sejumlah pembicara lain yaitu Aribowo Sasmito dari Mafindo, serta Arfi Bambani dari Aliansi Jurnalis Independen sebagai moderator.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement