Jumat 12 Oct 2018 18:09 WIB

SMRC: Istilah Cebong dan Kampret Bisa Pecah Belah Bangsa

SMRC merujuk pada adanya pelabelan lawan politik di Rwanda.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Persiapan Jokowi dan Prabowo di Pilpres 2019
Foto: republika
Persiapan Jokowi dan Prabowo di Pilpres 2019

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Saeful Mujani Research & Counsulting (SMRC) Saidiman Ahmad memandang penggunaan istilah cebong dan kampret berpeluang memecah belah bangsa. Bila hal itu terjadi, menurutnya, akan sulit mengembalikan integrasi bangsa.

Diketahui, istilah itu mulai mencuat sejak Pilpres 2014 guna menggambarkan pendukung Jokowi (cebong) dan pendukung Prabowo (kampret). Saidiman mengungkapkan, labelling serupa cebong dan kampret pernah digunakan di negara Rwanda ketika perang berkecamuk.

Baca Juga

Ketika itu, musuh menganalogikan lawannya sebagai kecoak. Ia khawatir penggunaan istilah tersebut masuk kategori berbahaya bagi integrasi bangsa.

"Ketika terjadi pembelahan sosial perlu bertahun-tahun untuk balik kembali. Seperti kasus Ahok, masyarakat pecah kubunya. Padahal, masyarakat itu inginnya harmoni," katanya dalam diskusi di Jakarta pada Jumat (12/10).

Menurutnya, ajang pemilu dalam demokrasi sepatutnya hanya dianggap kompetisi agar masing-masing kubu bertarung secara adil. Tetapi, ia menyoroti ada salah satu kubu yang melihat pemilu sebagai arena perang. Alhasil, pesaing dianggap musuh yang harus diberantas.

"Ada sekelompok orang anggap demokrasi ialah perang, bukan kompetisi. Ketika perang lawan dianggap musuh yang mesti dimusnahkan. Kalau kompetisi dalam demokrasi, musuh bagian dari kita, tapi beda kubu," jelasnya.

Sementara itu, politikus PDIP Budiman Sudjatmiko menekankan tak pernah menggunakan istilah kampret ketika menyebut lawan politiknya. Menurutnya, istilah itu hanya digunakan oleh pendukung yang berada di luar struktur resmi.

"Saya tak pakai istilah cebong-kampret. Saya enggak peduli. Di TKN (Tim kampanye Nasional), tidak pakai itu sebagai peluru. Itu istilah yang dipakai di luar struktur resmi TKN," ujarnya.

Di sisi lain, Kadiv Advokasi dan Bantuan Hukum Partai Demokrat F Hutahean memandang istilah cebong dan kampret kini sudah biasa digunakan masyarakat. Ia meyakini penggunaan istilah tersebut sudah tak lagi mengusik hati lawan bicara. Asalkan, menurutnya, konteksnya hanya membicarakan preferensi pilihan dalam politik.

"Orang tidak ada yang tersinggung asal diskusi terkait dukung mendukung capres. Karena, sudah jadi kosakata terbiasa dan bisa diterima. Orang tidak lihat itu sebagai sesuatu yang tidak layak dibicarakan," ucapnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement