Jumat 12 Oct 2018 19:30 WIB

Secara Aturan, Pemindahan Ibu Kota Sulteng Dimungkinkan

Wilayah Palu dinilai sangat riskan.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Muhammad Hafil
Petugas kesehatan melakukan penyemprotan disinfektan di lokasi terdampak pergerakan atau pencairan tanah (likuifaksi) di Petobo Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (10/10).
Foto: Antara/Yusran Uccang
Petugas kesehatan melakukan penyemprotan disinfektan di lokasi terdampak pergerakan atau pencairan tanah (likuifaksi) di Petobo Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (10/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Akmal Manik, mengatakan pemindahan Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) dari Palu akibat terdampak bencana alam baru sebatas wacana. Hingga saat ini, wacana tersebut belum dibahas di Kemendagri.

"Kemendagri sampai saat ini belum ada pembicaraan soal itu. Rencana itu kan baru sebatas wacana," ujar Akmal ketika dihubungi Republika.co.id, Jumat (12/10).

Namun, dia menegaskan dari segi aturan pemindahan ibu kota provinsi itu dimungkinkan. Dasar hukum yang nanti digunakan adalah Peraturan Pemerintah (PP).

"Pemindahan itu secara aturan boleh saja, nanti diatur dalam PP. Hanya saja, butuh kajian yang komprehensif sebagai rujukan. Kajian itu bukan hanya dari sisi geologi, geografi, sosiologi saja, harus semua aspek," jelasnya.

Menurut Akmal, sampai saat ini tercatat belum pernah ada pemindahan ibu kota suatu provinsi sebagai akibat dari bencana alam. Untuk merealisasikan pemindahan semacam itu, kata dia, perlu waktu yang cukup lama.

"Tidak cukup satu atau dua tahun. Butuh kajian yang panjang," tegas dia.

Sementara itu, saat ini yang menjadi fokus pemerintah adalah memulihkan kondisi di Sulawesi Tengah. "Kami mencoba melakukan pendampingan kepada pemerintah daerah setempat agar proses pemulihan berjalan lancar," tambahnya.

Sebelumnya, Peneliti Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dr Muzli mengusulkan agar ibu kota Sulawesi Tengah dipindah dari Palu. Alasannya daerah tersebut rawan gempa.

"Kalau melihat Palu, wilayahnya sangat riskan. Kalau bisa dipindah, karena di samping garis patahan, juga endapan sedimen atau batuan lunak yang tebal," ujar Muzli yang saat ini menjadi peneliti tamu di Earth Observatory of Singapore kepada Antara di Jakarta, Selasa (9/10).

Muzli menjelaskan Palu berada di garis sesar Palu Koro. Garis sesar Palu Koro merupakan patahan aktif yang memanjang sekitar 500 kilometer mulai dari Selat Makassar sampai Pantai Utara Teluk Bone.Selain itu, wilayah Palu yang merupakan area batuan lunak juga bisa dilihat secara kasat mata melalui Google Map, bisa diketahui tebalnya endapan sedimen.

"Warnanya putih kalau dilihat dari Google Map, itu juga menunjukkan topografinya rendah," ucapnya.Bahayanya, kata Muzli, jika endapan sedimen tebal maka akan mengakibatkan terjadinya likuifaksi atau pencairan tanah. "Likuefaksi terjadi karena Palu merupakan daerah batuan lunak atau sedimen. Jadi ketika gempa terjadi, menyebabkan permukaan tanah retak dan menyebabkan air permukaan bercampur dengan endapan sedimen, yang kemudian menjadi lumpur," tuturnya.

Tak hanya itu, menurutnya, endapan sedimen mudah sekali bercampur dengan air, dan tanah di bagian bawah yang keras menjadi landasan tergelincirnya sedimen yang bercampur air. Ditambah lagi gaya gravitasi maka menyebabkan tanah seakan bergerak.

photo
Dugaan penyebab tsunami pascagempa di Palu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement