REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqurrahman Ruki ikut mengomentari terkait perusakan buku dan hilangnya barang bukti catatan keuangan CV Sumber Laut Perkasa milik Basuki Hariman, atau isu 'buku merah'. Ruki menegaskan KPK jangan ditarik dan didorong untuk kepentingan politik.
Ruki mengatakan, dalam perspektif hukum, dugaan ini seharusnya diproses secara pidana seperti dugaan tindak pidana lainnya. Sehingga, bila dinyatakan bersalah, dua penyidik yang diduga merusak catatan keuangan itu dapat diproses secara pidana atau disiplin.
"Kalau dianggap pelanggaran pidana sekalipun diproses saja secara pidana, diperiksa seperti biasa. Jelas parameternya. Kalau bisa dibuktikan dua penyidik bersalah ada proses pidana dan disiplin," katanya di Gedung KPK Jakarta, Jumat (12/10).
Menurutnya, KPK dapat bekerja sama dengan pihak kepolisian jika terdapat dugaan menghalangi proses penegakan hukum. Meski demikian, Ruki mempertanyakan dampak yang ditimbulkannya jika memang terbukti ada catatan keuangan yang rusak. Karena, hilangnya sejumlah halaman dalam catatan keuangan tersebut tidak mempengaruhi proses hukum terhadap Basuki.
"Seberapa jauh damage yang dimunculkan kalau kasus menyangkut Basuki Hariman. Orangnya sudah diajukan ke pengadilan berarti kerusakan barang bukti tidak menghilangkan hukuman. Perbuatan yang dituduhkan ke Basuki terbukti sah meyakinkan," ujarnya.
Terlebih, catatan keuangan tersebut baru sebatas petunjuk dan belum dapat dikatakan alat bukti atau bahkan barang bukti. Sudah sepatutnya, catatan keuangan yang disebut memuat catatan aliran dana ke petinggi kepolisian itu harus dikonfirmasi dan diperiksa silang dengan petunjuk dan alat bukti lainnya.
"Itu namanya petunjuk, sebelum bisa menjadi alat bukti perlu dikonfirmasi. Jangan sekadar catatan. Siapa yang memberi, benar anda menerima," jelasnya.
Ruki pun menyayangkan dugaan perusakan ini dibawa ke ranah politik. Salah satunya dengan pernyataan Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais yang meminta Presiden Joko Widodo mencopot Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Ruki menilai dugaan perusakan ini menjadi bias dan tak jelas lagi. Persoalan ini pun menjadi gaduh lantaran saat ini sedang berlangsung masa kampanye Pilpres.
"Jangan KPK ditekan didorong ditarik ke politik. Saya tidak suka," tegasnya.
Baca juga: Irjen Setyo: Ada yang Mau Mengadu Polri dengan KPK
Sebelumnya, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadivhumas Polri) Irjen Setyo Wasisto menengarai ada pihak yang mencoba mengadi domba antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setyo menegaskan, berdasarkan pemeriksaan, tidak ada penyobekan lembaran dalam buku transaksi yang dituduhkan pada dua bekas penyidik KPK, AKBP Roland Rolandy dan Kompol Harun. Keduanya kini sudah bertugas di Polri.
"Bahwa mengenai perusakan barang bukti setelah dicek pun tidak terbukti ada Roland dan Harun melakukan perobekan," kata Setyo di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (10/10).
Kemudian, soal transaksi yang disebutkan dalam buku buti itu, Setyo pun membantah bahwa ada transaksi Basuki ke Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang dahulu menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya. Hal itu, kata Setyo sudah ditanyakan langsung pada Basuki. Setyo mengklaim, Basuki sudah menyatakan tidak mengirim dana ke Tito Karnavian.
"Disitu ada catatan di buku tapi itu bukan aliran dana. Dia mengakui menggunakan dana itu untuk kepentingan sendiri tidak hanya Pak Tito tapi ada orang Bea Cukai juga, ada pejabat lain," ujarnya.
"Jadi ini ada yang mau mengadu-ngadu antara polisi dengan KPK. Janganlah ini menjelang tahun politik biarlah kontestasi berjalan aman dan damai," tegasnya.
Kasus itu, kata. Setyo sudah dikonfirmasi langsung pada Dirkrimsus Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Adi Deriyan yang dahulu menjadi penyidik KPK. Adi membantah adanya transaksi dari Basuki Hariman ke Tito.
"Itu kan tahun 2017 dan kita sudah melakukan proses penyelidikan dan penyidikan kepada Pak Basukinya langsung, sumbernya dari mana? Pak Basuki," ucap Adi Deriyan.
Kasus ini bermula saat sejumlah media menyatakan adanya catatan transaksi aliran dana dari CV Sumber Laut Perkasa ke rekening Tito terkait kasus impor daging sapi dalam buku kas berwarna merah, sehingga kerap disebut Buku Merah.