REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penanganan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap Muslim Uighur di Cina harus dilakukan secara cermat dan hati-hati. Hal tersebut diungkapkan pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah.
Menurutnya, bila dunia internasional ingin menelisik kasus dugaan pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur, hal itu harus dilakukan secara bertahap. Pertama harus ada gerakan masyarakat sipil dari negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) atau Dewan HAM PBB, misalnya, yang menyuarakan keprihatinan terhadap dugaan pelanggaran HAM Muslim Uighur.
Sebab menurutnya aktor internasional bukan hanya negara, tapi mencakup pula lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat umum. Gerakan tersebut harus bisa menekan pemerintahannya masing-masing agar membawa isu Muslim Uighur sebagai salah satu topik pembahasan di forum internasional, seperti dalam sidang-sidang OKI atau Dewan HAM PBB. "Di pertemuan itu, delegasi Cina juga harus hadir agar objektif," kata Teuku kepada Republika.co.id pada Jumat (12/10).
Bila langkah-langkah demikian dapat terwujud, perwakilan khusus dari OKI dan Dewan HAM PBB kemungkinan bisa mengunjungi Cina. Mereka berkunjung dalam kapasitas untuk berkonsultasi dengan otoritas Cina perihal dugaan pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur.
"Jadi kedatangan mereka bukan bermaksud mempertanyakan kewenangan Cina, tanpa bermaksud mempertanyakan pelaksanaan HAM di sana, tapi perwakilan OKI dan Dewan HAM mendapat tekanan dari masyarakat dan kalau itu dibiarkan akan menjadi kerisauan dunia," kata Teuku menjelaskan.
Ia mengatakan, negara ataupun lembaga internasional tidak bisa sembarangan mengintervensi kasus dugaan pelanggaran HAM yang dialami Muslim Uighur. Sebab itu merupakan urusan dalam negeri Cina.
Negara-negara di dunia tak bisa pula dengan mudah menekan Beijing terkait masalah tersebut. "Karena saat ini Cina berada pada status yang luar biasa, perekonomiannya sangat tinggi, dan mampu bersaing dengan Amerika Serikat (AS) yang selama ini menganggap dirinya sebagai polisi dunia," kata Teuku.
Di sisi lain, Teuku melihat, Cina memiliki kemampuan untuk menekan balik negara-negara yang hendak mencampuri urusan domestiknya. Hal itu, misalnya, dapat dilakukan Cina melalui program kerja sama One Belt One Road (OBOR) atau Asian Investment. "Lewat jalur bilateral, regional, maupun internasional, Cina bisa lawan (tekanan) itu," ujar Teuku.
Cina telah menghadapi kritik keras dalam beberapa bulan terkahir terkait tindakannya terhadap Muslim Uighur. Beijing dituduh menjalankan kamp pendidikan ulang. Human Rights Watch menyebut terdapat sekitar satu juta Muslim Uighur di kamp tersebut. Saat berada di sana, Muslim Uighur diduga dipaksa meninggalkan aspek keyakinan agama mereka.