REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pedagang daring ingin agar para pelanggannya mengetahui bahwa seekor gajah dikuliti dengan cepat, dengan darah yang masih segar menempel di pembuluh darahnya.
Pedagang itu memegang dua lapis lemak kering yang dikeringkan di depan cahaya untuk memamerkan warna merah darah yang pekat. Hal itu ditandai melingkar menunjukkan di mana ia akan dipotong dan diubah menjadi manik-manik untuk gelang.
"Itu sebabnya mereka mencoba untuk menguliti gajah segera setelah ia jatuh," kata Aung Myo Chit, koordinator negara di Institusi Smithsonian Myanmar.
"Karena setelah anda menunggu satu atau dua hari, itu akan menurunkan warna ... konsentrasi darah akan berkurang. Satu gajah betina dikuliti sebelum ia mati."
Gajah hampir selalu jadi target
Perdagangan kulit gajah ini, untuk gelang, obat palsu dan produk kulit, pertama kali terdeteksi beberapa tahun yang lalu. Hal itu membuat para konservasionis khawatir.
"Perdagangan kulit baru begitu serius sehingga jika dibiarkan tidak terkendali, gajah Myanmar bisa menghilang pada 2030," kata Christy Williams, direktur World Wildlife Fund (WWF) di Myanmar.
Berburu gading menarget sekitar 10 persen gajah jantan dengan taring, tetapi perdagangan kulit baru ini menempatkan setiap gajah di tempat-tempat penampungan sebagai target para pemburu. "Jadi itu mengubah kondisi kami," kata Williams. "Pada dasarnya semua gajah yang hidup di alam liar adalah target."
Ancaman yang lebih luas yang ditimbulkan oleh para pemburu kulit menjadi isu yang kuat pada Mei tahun lalu. Hal itu ketika seluruh keluarga gajah terbunuh di wilayah Ayerawaddy, Myanmar.
Dari semua 25 pejantan, betina, dan bayi gajah yang disembelih, darah mereka mengubah sungai menjadi merah. "Saya hanya berpikir bahwa apa yang kita lakukan terhadap hewan seperti gajah, lumba-lumba, paus atau kera besar adalah genosida," kata Williams.
Krim racun
Dari hutan Myanmar, kulit gajah ilegal diselundupkan ke Cina, baik melalui Thailand dan Laos atau melalui pasar margasatwa di kota perbatasan, Mong La, yang terkenal kejam.
"Dari wawancara kami dengan pemilik toko, 90 persen konsumen adalah orang Cina," kata Williams.
Sebagian besar kulit gajah dijual secara daring. Kelompok konservasi Elephant Family menemukan foto-foto pedagang memamerkan produk darah merahnya bulan lalu dan juga melacak asal-usul gelang manik.
Sementara gelang manik berukir yang dikenal sebagai wenwan telah lama menjadi barang-barang perhiasan tradisional di Cina. Penggunaan kulit gajah hampir tidak pernah terdengar hingga 2014, ketika seorang pedagang daring tunggal yang dikenal sebagai Jaz mengembangkan produk baru.
Menurut sebuah penyelidikan oleh Elephant Family, Jaz membanggakan eksploitasinya.
"Saya menemukan gelang manik kulit gajah," kata Jaz menurut sebuah laporan.
"Saya bahkan pergi ke Myanmar dan mengambil bahan bakunya sendiri."
Jaz juga memelopori perdagangan daring kulit gajah bubuk yang dijual sebagai obat untuk sakit perut dan dicampur ke dalam krim untuk penyakit kulit. Aung Myo Chit mengatakan bahwa produk itu tidak memiliki nilai obat yang terbukti, dan sebenarnya bisa berbahaya bagi konsumen.
Pemburu menggunakan senjata buatan sendiri dan panah berujung racun yang kuat untuk menjerumuskan gajah dalam kematian yang lambat dan menyiksa.
"Dua atau tiga hari kemudian, racun telah menyebar ke seluruh tubuh, setiap inci kulit mengandung racun," kata Aung Myo Chit.
Racun itu kemudian dikonsumsi atau digosokkan ke kulit pelanggan.
Kewenangan negara
Para konservasionis mengatakan tindakan mendesak diperlukan untuk melindungi 2.000 ekor gajah liar Myanmar. Minggu ini, konferensi Illegal Wildlife Trade (Perdagangan Satwa Liar Ilegal) diadakan di London. Meski perlindungan gajah Afrika dijadikan topik utama, perdagangan kulit gajah Asia yang berkembang bukan merupakan agenda utama.
Para aktivis mencoba mengalihkan pembicaraan; mereka ingin dunia melihat perburuan kulit gajah sebagai perdagangan gading yang baru.
"Sebagai negara, kami menyadari berbagai ancaman yang dihadapi oleh gajah Asia dan khawatir bahwa masalah kulit akan meluas ke semua negara jika tidak dihentikan," sebut Ranjan Marasinghe, kepala penegak hukum di Departemen Konservasi Satwa Liar Sri Lanka.
Ada beberapa tanda positif di Myanmar. Pemerintah setempat memperkuat undang-undang tahun ini yang memberi persyaratan hukuman penjara minimum bagi pemburu. Memasang alat pelacak untuk sejumlah kecil gajah di titik perburuan telah memungkinkan penjaga untuk memfokuskan patroli mereka di mana mereka bisa paling efektif. Tetapi itu juga menunjukkan skala ancaman.
Pada tahun pertama, World Wildlife Fund (WWF) memasangkan alat pelacak ke gajah, separuhnya mati terbunuh. Namun, Christy Williams percaya bahwa Myanmar memiliki kesempatan unik untuk melindungi satwa liar dan menciptakan lapangan kerja.
Negara Asia Tenggara memiliki sektor kayu komersial yang besar, dengan ribuan staf dan ribuan gajah terlatih yang bekerja di perusahaan penebangan yang dikelola negara. Namun masa kejayaan perdagangan jati Myanmar menurun.
Williams ingin melihat Myanmar merekrut beberapa pekerja kayunya dan melatih mereka sebagai polisi hutan. WWF bekerja di fasilitas pelatihan penjaga hutan untuk membantu mewujudkannya.
Ia mengutip hasil di Nepal sebagai bukti bahwa gagasan itu bisa berhasil.
"Taman Nasional Chitwan di Nepal telah merayakan lima tahun perburuan nol badak, (tetapi) mereka memiliki 1.600 staf, termasuk 1.000 tentara yang melindungi taman itu," katanya.
"(Untuk])seluruh 40 kawasan lindung di Myanmar, total ada 450 staf. Kami membutuhkan lebih banyak sepatu boot di lapangan."
"Jika tidak diperiksa sekarang, itu bisa dengan mudah menyebar ke bagian lain Asia, di mana tidak ada perlindungan untuk gajah Asia, maka anda benar-benar berjuang untuk menyelamatkan beberapa hewan terakhir."
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.