Sabtu 13 Oct 2018 14:01 WIB

Pengamat: Premium Jangan Dinaikkan Hingga 2019

Kenaikan harga Premium berdampak pada daya beli masyarakat dan inflasi.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Friska Yolanda
Petugas mengisi premium ke dalam sepeda motor di salah satu SPBU di Jakarta, Rabu (10/10). Pemerintah memutuskan untuk menunda rencana kenaikan BBM jenis premium sembari menunggu kesiapan dari Pertamina untuk menjalankan kebijakan tersebut.
Foto: Akbar Nugroho Gumay/Antara
Petugas mengisi premium ke dalam sepeda motor di salah satu SPBU di Jakarta, Rabu (10/10). Pemerintah memutuskan untuk menunda rencana kenaikan BBM jenis premium sembari menunggu kesiapan dari Pertamina untuk menjalankan kebijakan tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan pemerintah untuk membatalkan kenaikan harga bahan bakar minyak jenis premium menuai berbagai kontrovesi. Banyak yang mengkritik, tidak sedikit juga pihak mendukung.

Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi bahkan meminta kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) Premium tidak dilakukan sampai 2019. Ia beralasan, kenaikan BBM jenis Premium akan memicu penurunan daya beli masyarakat dan kenaikan inflasi.

"Kenaikan premium itu mempunyai korelasi positif terhadap inflasi dan daya beli masyarakat kita yang masih rendah, meski orang meminta naik, tapi saya pribadi meminta jangan dinaikkan dulu karena pertimbangan menggerus daya beli dan inflasi yang menyebabkan rakyat miskin akan menderita," kata Fahmy.

Terlepas apakah keputusan pembatalan tersebut bermuatan politis atau tidak, Fahmy tak mau ikut campur di dalamnya. Ia hanya melihat pembatalan kenaikan harga BBM jenis Premium dari sisi situasi ekonomi yang terjadi saat ini.

Menurutnya, melonjaknya harga minyak dunia memang memaksa negara-negara untuk menaikan harga BBM. Ini juga yang mendasari desakan kenaikan BBM  di Indonesia.

Jika tidak, maka merasa migas di Indonesia akan terbebani dengan melonjaknya harga minyak dunia. Termasuk Pertamina, yang saat ini menanggung beban subsdidi harga premium.

Namun Fahmy menilai, beban tersebut tidak kemudian membuat Pertamina bangkrut. Sehingga jika dinaikan harga Premium, hanya mengurangi beban subsidi Pertamina.

"Tapi kalau dinaikan, rakyat yang paling terkena dampak. Kita mau prorakyat apa pro-Pertamina, karena pertamina masih mampu, kalau Pertamina biding, Pemerintah masih bisa memberikan bantuan," kata Fahmy.

Karena ia meminta kenaikan itu tidak dilakukan hingga batas tertentu. Menurutnya batas untuk  menaikkan harga BBM jenis premium, jika harga minyak mentah dunia menyentuh angkat 100 dolar AS per barel.

Fahmy menilai BBM jenis Premium memang kerap menjadi salah satu masalah dari waktu ke waktu. Karenanya, ia menilai pemetaan jangka panjang harus menghapuskan BBM jenis tersebut di masa depan.

Sebelumnya diberitakan, pemerintah memutuskan menaikkan sejumlah harga bahan bakar minyak per Selasa (10/10). Kenaikan ini dilakukan karena terus meningkatnya harga minyak mentah.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyatakan di Bali bahwa harga BBM jenis Premium naik dari Rp 6.500 per liter menjadi Rp 7.000 untuk wilayah Jawa-Madura-Bali (Jamali). Untuk wilayah di luar Jamali, premium dijual seharga Rp 6.900.

Pemerintah mempertimbangkan sesuai arahan Presiden (Joko Widodo) bahwa premium, premium saja ya, mulai hari ini jam 18.00 WIB disesuaikan harganya," kata Jonan di Nusa Dua, Bali, pada Rabu (10/10).

Selang tak berapa lama, pemerintah menunda kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium. Kenaikan harga akan dibahas ulang menunggu kesiapan PT Pertamina.

"Sesuai arahan Bapak Presiden rencana kenaikan harga premium di Jamali menjadi Rp 7.000 dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900, secepatnya pukul 18.00 WIB hari ini, agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan PT Pertamina," ujar Jonan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement