Senin 15 Oct 2018 03:52 WIB

'Eks Koruptor tidak Cukup Hanya Ditandai di Surat Suara'

Perludem meminta KPU mengungkapkan caleg eks koruptor dalam informasi DCT

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini (kanan) menyampaikan pandangannya bersama Peneliti Senior NETGRIT Hadar Nafis Gumay ketika menjadi narasumber dalam diskusi di kantor ICW, Jakarta, Minggu (9/9).
Foto: Republika/Prayogi
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini (kanan) menyampaikan pandangannya bersama Peneliti Senior NETGRIT Hadar Nafis Gumay ketika menjadi narasumber dalam diskusi di kantor ICW, Jakarta, Minggu (9/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan para mantan narapidana korupsi tidak cukup hanya ditandai di surat suara. Dia meminta informasi para eks koruptor itu dibuka secara umum sejak saat ini.

"Tidak cukup hanya dengan ditandai di surat suara saja. Surat suara itu kan hanya sebagian kecil dari proses pemilu," ujar Titi ketika dikonfirmasi Republika, Ahad (16/12). 

Dia melanjutkan, bagian penting dari proses pemilu adalah tahapan pemilu. Dengan kata lain, tahapan kampanye pemilu saat ini penting untuk disimak oleh masyarakat. 

"Yang penting adalah bagaimana membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat soal tidak memilih para caleg yang merupakan eks koruptor. Itu harus dimulai sejak hulu atau saat ini," tegas Titi. 

Karena itu, dia meminta KPU segera menginformasikan DCT Pemilu 2019 secara terbuka. Informasi ini bisa dimuat dalam laman resmi KPU sehingga mudah diakses masyarakat.

Khusus untuk mantan narapidana korupsi, Perludem meminta KPU juga mengungkapkannya dalam informasi DCT itu. 

"Jadi sudah sejak sekarang pendaan itu dilakukan. Yang mana yang mantan narapidana korupsi beritahukan kepada masyarakat. Dengan begitu masyarakat punya panduan informasi yang cukup untuk mengenal status para caleg yang ada. 

Titi pun mengkritisi sikap KPU yang dinilainya tidak memberikan informasi yang memadai soal status para caleg. Hal ini, kata dia, tampak dari publikasi informasi DCT Pemilu 2019 yang masih minim. 

"Seharusnya caleg eks koruptor diberi tanda berupa informasi kepada masyarakat mulai saat ini. Sebab informasi atas status mereka masih minim sekali, hanya sebatas dari media massa dan putusan  Bawaslu saja," tegas Titi. 

Sebelumnya,  Ketua KPU, Arief Budiman, mengatakan ada kemungkinan para caleg mantan narapidana kasus korupsi diumumkan namanya dalam daftar calon tetap (DCT) Pemilu 2019 yang ditempel di tempat pemungutan suara (TPS). KPU tetap belum memutuskan cara untuk mengumumkan para caleg yang merupakan eks koruptor tersebut kepada masyarakat. 

"Bisa saja (dibuat pengumuman di TPS). Tetapi, itu masih dalam diskusi kami. Sebab dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, menyebutkan para mantan narapidana korupsi harus mendeklarasikan (statusnya). Nah mendeklarasikan itu bisa dimaknai juga KPU membantu mendeklarasikan lewat papan pengumuman (yang ada di TPS)," ujar Arief ketika dijumpai wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (12/10). 

Dia melanjutkan, opsi untuk mengumumkan di TPS itu sudah menjadi bahan diksusi oleh internal KPU. "Namun, kami belum memutuskan nanti akan melakukannya seperti apa," tegas Arief. 

Sebagaimana diketahui, sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sempat mengusulkan agar KPU memberi tanda untuk para caleg mantan narapidana korupsi di kertas suara Pemilu 2019. Namun, KPU pun belum memutuskan apakah usulan ini akan dijalankan atau tidak. 

Arief menjelaskan, desain surat suara sudah diatur berdasarkan UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017. "Jadi ada misalnya untuk DPD ada foto, nama dan nomor urut. Kemudian, untuk pemilu presiden ada gamabar capres, nama, gambar parpol pengusul. Sementara itu, untuk DPR itu ada gambar parpol lalu nomor caleg. Jadi kita tidak bisa mengisi surat suara dengan hal-hal yang tidak ditentukan oleh undang-undang," ungkapnya. 

Sebenarnya, kata Arief, masyarakat mengharapkan surat suara untuk memilih caleg DPR dan DPRD juga mencantumkan foto. Namun, KPU tidak bisa mengakomodasi usulan itu karena nantinya surat suara untuk pemilihan caleg menjadi sangat besar ukurannya. 

"Kalau memang ada usulan diberi penanda di surat suara, KPU pernah mencoba membuat desain itu. Namun, sepertinya nanti bukan hanya merepotkan tetapi ukuran surat suara akan menjadi terganggu," tambah Arief. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement